Cerita Hari Ini, Ular Sanca Penunggu Pohon Randu.(Bagian 10)
Tenang yang Menyisakan Misteri
Beberapa minggu setelah pengorbanan Mbak Rasti, kampung RW 03 kembali berjalan seperti biasa. Sawah kembali subur, panen padi melimpah, dan tidak ada lagi warga yang mendengar desis ular di malam hari.
Anak-anak kembali berlarian di pematang, orang-orang pergi ke kebun tanpa rasa takut, dan suasana kampung terasa damai seolah kejadian menyeramkan itu hanyalah mimpi buruk yang jauh.
Namun tidak semua bisa melupakannya.
Bang Mus sering termenung di serambi rumahnya, masih terbayang wajah pasrah Mbak Rasti sebelum lenyap bersama ular jadi jadian. Kodil pun tidak lagi sekuat dulu; setiap kali lewat dekat pohon keramat, tubuhnya bergetar tanpa sebab.
Mbah Darto tetap menyimpan buku tua itu di dalam kotak kayu. Ia melarang siapa pun membukanya lagi, namun dalam hati ia tahu: tulisan merah di halaman terakhir adalah pertanda bahwa kutukan belum berakhir.
Suatu malam, ketika bulan purnama menggantung penuh di langit, terdengar suara samar dari arah kebun:
desis panjang... lirih, seperti bisikan yang hanya bisa didengar oleh orang yang masih terjaga.
Bang Mus terbangun dari tidurnya. Ia menoleh ke jendela, melihat sekilas bayangan melata besar melewati pematang sawah. Tubuhnya kaku, hanya bisa berdoa dalam hati.
Keesokan paginya, ia tidak menceritakan apa pun pada warga. Ia tahu, tenang yang sedang mereka nikmati hanyalah sementara.
Karena perjanjian leluhur itu tak pernah benar-benar putus.
Ia hanya tidur... menunggu saatnya kembali menagih.
Dan setiap generasi, RW 03 di kampung itu, akan selalu hidup dengan bayangan:
apakah ular jadi jadian berkepala mahkota penunggu pohon randu itu akan datang lagi?