Mohon tunggu...
Didin Abramovich Alfaizin
Didin Abramovich Alfaizin Mohon Tunggu... Pengamat layar laptop

Bukan tukang kritik, hanya penyampai ide. Penyuka anime. Punya impian menganggrekkan lorong depan rumah. Salam literasi dari langit suram Makassar

Selanjutnya

Tutup

Diary

Dari Verbeck ke Teluk Bone: Menyusuri Simfoni Alam Malili

24 Juni 2025   13:15 Diperbarui: 24 Juni 2025   13:15 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lanskap Perkantoran dengan background Verbeck (sumber: tribun-timur.com)

Menjelajahi Malili bukan hanya soal menjelajah lanskap, tetapi menyelami nilai-nilai ekologi, spiritualitas, dan kearifan lokal yang begitu kuat. Tempat ini bukan hanya layak dikunjungi---tetapi juga dijaga. Karena saat kita menjaga alam, sebenarnya kita sedang menjaga bagian terdalam dari diri kita sendiri.

Malili: Ketika Alam Bicara dalam Bahasa yang Sunyi

Jika Gunung Verbeck adalah overture, maka Danau Matano, Mahalona, dan Towuti adalah bagian tengah dari orkestra alam yang puncaknya mengalir di Sungai Larona, dan berakhir megah di Teluk Bone. Malili, kawasan yang terletak di Kabupaten Luwu Timur, adalah simfoni yang tidak hanya bisa dilihat, tetapi juga didengarkan dengan hati.

Malili adalah sepotong surga yang tersembunyi di pangkuan Sulawesi, sebuah tempat di mana alam berbicara dalam bahasa yang hanya dipahami oleh mereka yang mau mendengarkan dengan hati. Bayangkan Gunung Verbeck, menjulang tinggi seperti raksasa purba yang menjaga pintu gerbang menuju rahasia alam. Puncaknya sering tersaput awan, seolah-olah berbisik tentang kisah-kisah yang hanya dimengerti oleh angin. Di bawah bayangannya, tiga danau berbaring dalam diam, namun keheningannya penuh dengan misteri yang belum terungkap.

Lanskap Sungai dan Pemukiman (sumber: iStock)
Lanskap Sungai dan Pemukiman (sumber: iStock)

Danau-danau yang Memantulkan Waktu

Danau Matano, dengan kedalamannya yang menantang, seperti sebuah mata yang menatap langit dan bumi sekaligus. Airnya begitu jernih hingga setiap bayangan yang jatuh di atasnya tampak seperti ukiran di kaca alam. Ada desas-desus bahwa di dasar danau ini, waktu terperangkap, dan mereka yang mencoba menyelaminya seakan tersedot ke dalam keabadian yang tak berujung. Matano tak sekadar air, ia adalah cermin jiwa, tempat di mana orang-orang merenungi masa lalu dan menemukan refleksi diri mereka yang paling dalam.

Di sisi lain, Danau Mahalona dan Towuti berdiri seperti sepasang saudara yang saling melengkapi. Mahalona, dengan permukaannya yang selalu tenang, seolah menyimpan rahasia dari masa lampau. Sementara itu, Towuti adalah danau yang hidup, setiap riak airnya seperti nyanyian lembut yang diperdengarkan kepada mereka yang mau mendengarkan. Di tepiannya, pohon-pohon besar membungkuk hormat, seakan tahu bahwa air yang mengalir di sana lebih dari sekadar elemen kehidupan; ia adalah narasi yang tak pernah selesai.

Danau Matano (sumber: Bisniswisata)
Danau Matano (sumber: Bisniswisata)

Sungai Larona: Benang yang Menyulam Cerita

Sungai Larona, seperti pita perak yang menghubungkan ketiga danau itu, mengalir dengan tenang. Airnya yang jernih, tak ubahnya seperti benang yang menenun cerita alam dari gunung hingga laut. Setiap percikannya adalah puisi, dan alirannya membawa pesan-pesan dari gunung ke laut yang hanya bisa didengar oleh mereka yang memiliki telinga untuk keheningan. Larona bukan hanya sungai; ia adalah napas dari Malili, membawa kehidupan dan misteri dalam setiap arusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun