Mohon tunggu...
Didimus Wandik
Didimus Wandik Mohon Tunggu... Seniman - Penulis

Menuliskan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Keputusan Politik Mendominasi Peraturan ASN

30 September 2018   13:27 Diperbarui: 30 September 2018   13:38 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dengan disahkannya Undang-Undang Otonomi  Khusus bagi propinsi Papua dan Papua  Barat, orang papua medapatkan peluang  seluas-luasnya menjadi pemimpin, yang berhak menjadi "Gubernur, Walikota dan Bupati adalah orang asli Papua "wakil bupati dan walikota bisa dari orang lain, maka orang asli papua yang memiliki ambisi berlomba-lomba mencari dukungan partai tanpa memperhitungkan kualitas  dan pemahaman politik dan birokrasi yang terpenting ada di logika mereka adalah bagai dia bisa menjadi orang terkenal dan menguasai kekuasaan, maka semua orang berlombah-lombah mengumpulkan uang untuk menjadi seorang kandit kontensi politik, lebih seruh lagi bila kala pasti mengajak rakyat untuk melakukan aksi kriminal (pemalangan jalan, kantor dan lain-lain), maka tidak salah apabila setiap pemelihan papua adalah daerah rawan konflik, bukan karena tindakan kelompok separatis tetapi aparat keamnan selalu antisipasi pergerakan dan pengarahan massa dari kandit yang bermental kerupuk. 

Uang adalah segalanya bagi seorang  kandidat, dengan uang dia bisa meloloskan komisioner KPU dan PANWAS, dengan uang pulah dia bisa membiaya pelaksanaan pemilihan bahkan dengan uang puluh dia bisa mendapatkan pengakuan hukum, memang hal ini terjadi terus menerus, dari mana uang-uang itu? pinjaman? utang? atau hasil curian?

Biaya politik di papua memang sangat besar bila dihitung-hitung bisa sampe puluh han bahkan ratusan milyar, apa bila uang pinjaman dan utang kapan pengembaliannya?  Apa bila dia seorang mantan pejabat bagaimana korelasi antara LHKPN dan uang di pakai untuk pilkada pasti ada benang merahnya. 

Orang asli Papua sebenarnya bisa diukur dan terlihat jelas siapa yang kaya, pas-pasan dan miskin, seorang akan terlihat berada apabila status sosialnya berubah kearah peningkatan atau kemajuan misalnya seorang anggota DPR pejabat Eselon di pemerintahan dan seorang pengusaha yang mengerjakan proyek setiap tahun, maka ada perputaran uang yang memakmurkan tetapi penghasilan seorang pejabat yang resmi bisa diukur.

Akibat dari Kost besar untuk membiayai politik,  setelah seorang terpilih sebagai gubernur, bupati atau walikota akan menggorbankan banyak orang  atau mengorbankan kepentingan umum, mengapa? sebab dia pasti akan melunasi beban utang yang dimiliki, ada beberapa kasus yang biasa muncul seperti :

a. Politik Anggaran APBD yang  tidak seimbang;
Seluruh OPD yang dibentuk berdasarkan peraturan Daerah untuk menjawab kebutuhan masyarakat, tetapi dalam penetapan plafon anggaran APBD tidak berpatokan pada asas kebutuhan tetapi lebih pada asas keinginan, sehingga postur APBD terlihat tidak seimbang. 

b. Pembagian Jatah Anggaran APBD;
Ada pejabat eliet tertentu yang memanfaatkan dana APBD dengan sistim jatah lalu sisanya di bagikan kepada OPD, uang jatah itupun akan dititipkan pada OPD yang memiliki koneksi baik, dengan program keinginan mereka yang sebenarnya tidak korelasi dengan RPJMD Daerah, RESTRA dan RENJA SKPD untuk menjawab Visi dan misinya. maka pengusaha dan lokasi kegiatan pun di tentukan oleh penitip Dana, terkesan bahwa apa yang dirancang oleh OPD hanya sia-sia saja;

c.  Pemerataan Pembagunan;
Di Kampung/desa/Distrik tertentu yang tidak menggumpulkan suarah baik untuk kepala daerah terpilih pasti tidak mendapatkan perhatian pembagunan yang baik, itu sebagai saksi dari pemilu langsung, sehingga Anggaran yang akan diarahkan pada distrik/desa yang memberikan suarah pada kandidat terpilih.

d. Pembagian Jabatan Eselon;
Pengisian pejabat eselon selalu berpatokan pada pendukung dan penyumbang dalam pilkada, sangat ironis lagi bila pejabat yang dilantik masi berpangkat dan golongan rendah seperti (gol II atau Gol III ) yang menduduki eselon II atau eselon III dan IV yang secara kualitas sangat diragukan dalam pelayanan, lebih parah lagi seorang calon ASN bisa menduduki pejabat eselon. sehingga ASN yang memupuk kariernya dari kecil dikorbankan menjadi non job.

e. Intervensi pihak lain; 
Intervensi tim sukses dan partai pendukung sangat kental dalam penentuan jabatan, mereka membawa calon / usulan pejabat eselon maupun usulan program masing-masing yang harus di jawab oleh bupati dan wakil.

f. Pembagian Proyek 1 pintu;
Istilah ini mungkin hanya terkenal di papua, semua proyek atau kegiatan di OPD akan di bagi oleh bupati Kepala OPD hanya mengusulkan, ini untuk menjawab utang bupati dan wakil selama pilkada, terkesan bahwa fungsi Unit pelayanan Pengadaan ( ULP ) untuk tender dan lelang tidak di laksanakan sepenuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun