Mohon tunggu...
made didi kurniawan
made didi kurniawan Mohon Tunggu... Peneliti dan Penulis Lepas

Penelitian 🕵️dan Penulis Lepas Artikel Ilmiah dan Populer ✍️

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah: Kutukan Pengulangan?

15 April 2025   14:39 Diperbarui: 15 April 2025   14:39 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mengapa sejarah seolah menjadi lingkaran tanpa akhir, di mana pola-pola konflik, kemajuan, dan kemunduran terus berulang dalam berbagai bentuk? Pertanyaan ini telah menghantui para filsuf dan sejarawan selama berabad-abad. Alih-alih menjadi catatan usang tentang masa lalu, sejarah seringkali terasa seperti naskah drama yang terus dipentaskan ulang dengan aktor dan kostum yang berbeda. Fenomena ini memunculkan perdebatan sengit: apakah pengulangan sejarah adalah keniscayaan akibat sifat dasar manusia dan struktur masyarakat, ataukah kegagalan kolektif kita dalam menarik pelajaran dari masa lalu? Artikel ini akan mengupas tuntas akar penyebab kecenderungan sejarah untuk "mengulang" dirinya, menelusuri berbagai perspektif dan faktor yang berkontribusi pada fenomena kompleks ini.

Akar Sifat Manusia yang Tak Lekang Waktu

Salah satu penjelasan paling mendasar mengapa sejarah tampak berulang terletak pada sifat dasar manusia yang relatif konstan. Menurut berbagai studi psikologi dan pengamatan sejarah, motivasi inti manusia seperti keinginan akan kekuasaan, kekayaan, keamanan, dan pengakuan cenderung abadi. Ambisi untuk mendominasi, ketakutan akan kehilangan, dan dorongan untuk memenuhi kebutuhan dasar terus mewarnai interaksi sosial dan politik lintas zaman. Sebagai contoh, perebutan sumber daya alam telah menjadi pemicu konflik dari era kerajaan kuno hingga persaingan geopolitik modern. Lebih lanjut, emosi seperti keserakahan, kebencian, dan fanatisme, yang sering kali dieksploitasi oleh para pemimpin atau ideologi, memiliki potensi untuk memicu tindakan kolektif yang destruktif, sebagaimana yang terlihat dalam berbagai peperangan dan genosida sepanjang sejarah. Dilansir dari buku "Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia" karya Yuval Noah Harari, dijelaskan bahwa narasi dan ideologi, meskipun berubah bentuk, terus memainkan peran sentral dalam mengorganisir masyarakat dan memicu konflik.

Struktur Sosial dan Politik yang Berulang

Selain sifat dasar manusia, struktur sosial dan politik yang cenderung berulang juga menjadi faktor signifikan dalam fenomena pengulangan sejarah. Pola-pola hierarki kekuasaan, ketidaksetaraan ekonomi, dan perjuangan antara kelompok dominan dan kelompok yang tertindas terus bermunculan dalam berbagai peradaban dan periode waktu. Misalnya, siklus munculnya tirani, pemberontakan rakyat, dan pembentukan kembali sistem kekuasaan telah menjadi tema sentral dalam sejarah politik. Menurut teori siklus politik yang dikemukakan oleh para ilmuwan politik, sistem pemerintahan cenderung mengalami fase-fase stabilitas, krisis, dan transformasi. Lebih lanjut, dinamika hubungan antar negara, termasuk perlombaan senjata, pembentukan aliansi, dan konflik teritorial, juga menunjukkan pola-pola yang berulang meskipun dengan skala dan teknologi yang berbeda. Sebagaimana diungkapkan dalam buku "The Peloponnesian War" karya Thucydides, dinamika kekuasaan antar negara kota di Yunani kuno memiliki resonansi dengan persaingan kekuatan global di era modern.

Kegagalan Kolektif dalam Belajar dari Masa Lalu

Meskipun sejarah menyediakan catatan yang kaya akan keberhasilan dan kegagalan umat manusia, kemampuan kita untuk belajar darinya seringkali terbatas. Beberapa faktor berkontribusi pada kegagalan ini. Pertama, interpretasi sejarah seringkali dipengaruhi oleh bias subjektif, kepentingan politik saat ini, atau narasi kelompok yang dominan. Hal ini dapat menghalangi pemahaman yang objektif tentang akar permasalahan dan konsekuensi dari tindakan masa lalu. Kedua, konteks sejarah yang unik seringkali diabaikan ketika mencoba menerapkan pelajaran dari masa lalu ke situasi yang berbeda. Solusi yang berhasil di satu waktu dan tempat mungkin tidak efektif atau bahkan berbahaya di konteks lain. Ketiga, generasi baru seringkali kurang memiliki pemahaman yang mendalam tentang peristiwa masa lalu, terutama jika peristiwa tersebut dianggap tidak relevan atau tidak diajarkan secara efektif. Menurut artikel yang diterbitkan oleh American Historical Association, pentingnya pendidikan sejarah dalam mengembangkan pemikiran kritis dan kesadaran akan pola-pola masa lalu seringkali diremehkan. Akibatnya, kita berisiko mengulangi kesalahan yang sama karena kurangnya pemahaman atau pengabaian terhadap pelajaran yang telah terukir dalam sejarah.

Referensi:

Harari, Yuval Noah. (2015). Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia. Diterjemahkan oleh Susi Purwoko. Jakarta: Penerbit Alvabet.

Thucydides. (1996). The Peloponnesian War. Diterjemahkan oleh Rex Warner. London: Penguin Classics.

American Historical Association. (n.d.). Why Study History? Diakses dari [sumber terpercaya website AHA].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun