Pernahkah Anda merasa seperti berdiri di depan pintu yang sama dengan ratusan orang lain, menunggu giliran untuk masuk, padahal ruang di dalamnya sangat sempit? Begitulah kira-kira gambaran mencari pekerjaan di zaman sekarang. Saingan begitu banyak, tapi kursi yang tersedia terbatas.
Tiap tahun, ribuan lulusan baru keluar dari sekolah, perguruan tinggi, bahkan kursus-kursus singkat. Mereka punya semangat, punya ijazah, punya harapan. Tapi lapangan kerja yang tumbuh tidak sebanding dengan jumlah orang yang siap bekerja. Akhirnya, persaingan semakin ketat.
Kalau Anda cuma mengandalkan lowongan kerja yang ada, perjalanan bisa terasa panjang, melelahkan, dan sering penuh kekecewaan. Surat lamaran sudah dikirim, CV sudah diubah-ubah, bahkan sampai ikut pelatihan tambahan, tapi balasan yang datang tetap saja "maaf, Anda belum memenuhi kualifikasi".
Padahal, ada jalan lain. Jalan yang mungkin selama ini Anda pandang sebelah mata. Jalan yang membuat Anda tidak lagi berdiri di pintu yang sama dengan orang banyak, tapi membuka pintu sendiri. Membuat jalan baru, bahkan menyediakan kursi untuk orang lain.
Mengapa Bergantung pada Lowongan Bisa Menyesakkan
Mari bayangkan sebuah adegan kecil. Seorang pemuda datang ke sebuah job fair. Gedung penuh sesak. Antrean mengular. Di setiap booth perusahaan, tumpukan CV sudah setinggi meja. Rasanya seperti ikut undian, siapa tahu keberuntungan berpihak. Tapi kalau dipikir baik-baik, apakah hidup harus selalu digantungkan pada keberuntungan seperti itu?
Realitanya, perusahaan memang tidak bisa menyerap semua tenaga kerja. Bahkan perusahaan besar sekalipun tetap punya keterbatasan. Itu sebabnya, kalau semua orang cuma menunggu perusahaan membuka lowongan, akan selalu ada yang tertinggal.
Secara psikologis, terlalu lama menunggu kepastian juga bisa mengikis rasa percaya diri. Anda jadi mulai bertanya-tanya, "apa memang kemampuan saya tidak cukup?" atau "mungkin saya memang tidak sebaik orang lain?" Padahal, bisa jadi bukan soal tidak mampu, tapi jalannya yang tidak sesuai.
Kemampuan yang Terlihat Biasa, Ternyata Bernilai Mahal
Coba renungkan sebentar. Apa yang paling sering orang lain minta bantuan dari Anda? Apakah diminta memperbaiki komputer, diminta membuat desain undangan, diminta menemani anak belajar matematika, atau mungkin diminta menulis kata-kata untuk caption produk jualan?
Sering kali, sesuatu yang Anda anggap biasa justru istimewa di mata orang lain. Seorang teman bisa saja menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengutak-atik Excel, tapi bagi Anda itu pekerjaan ringan. Atau ada orang yang selalu kebingungan merangkai kata, tapi bagi Anda menulis terasa lancar.