Pagi yang Sederhana, Pengingat dari Allah
Di suatu pagi yang tenang, di sudut warung bubur sederhana, dua orang pria duduk berdampingan dengan semangkuk bubur ayam hangat di tangan. Salah satunya mengenakan jaket lusuh dari jam kerja yang panjang, satunya lagi tampak masih berbau oli bekas perbaikan kendaraan. Mereka bukan ustaz, bukan pula tokoh agama. Tapi pagi itu, di sela suapan dan napas yang tertahan, keluar kata-kata yang menjadi cermin---menghadirkan pengingat tentang dalamnya makna hidup dan indahnya kesabaran.
Salah satu dari mereka, seorang sopir angkot, berkata lirih, "Lo juga ngerasa capek nggak sih, tiap hari begini?" Bukan keluhan. Bukan putus asa. Cuma kejujuran yang sederhana. Temannya mengangguk dan menjawab pelan, "Capek lah. Tapi siapa lagi yang mau jalanin, kalau bukan kita? Allah kasih porsi masing-masing." Dalam kalimat itu tidak ada keluh kesah. Yang ada adalah penerimaan. Sebuah pengakuan kalau hidup bukan kebetulan, kalau setiap kesulitan sudah ditakar oleh Allah, dan kalau kekuatan tidak selalu ada pada hasil---tapi pada usaha untuk terus melangkah dengan sabar dan tawakal.
Lelah Itu Bukan Lemah
Obrolan mereka tidak berhenti di rasa capek. Mereka bicara tentang anak-anak yang butuh uang sekolah, istri yang tak pernah mengeluh, cicilan yang belum lunas, dan malam-malam panjang yang diisi rasa kantuk di balik setir. Tapi bukan untuk dikasihani. Bukan untuk mencari pembenaran. Mereka berbicara karena kadang, laki-laki juga butuh mengingatkan dirinya sendiri kalau sabar bukan diam---sabar adalah keteguhan hati yang ditopang iman.
Islam tidak pernah menjanjikan hidup tanpa ujian. Allah jelas berfirman dalam Qur'an, "Dan sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan..." (QS. Al-Baqarah: 155). Tapi di ayat yang sama, Allah juga memberi kabar gembira, "Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar." Dan di warung itu, dua orang sedang menjalani ayat tersebut---bukan sebagai teori, tapi sebagai kenyataan hidup.
Mereka tidak menangis. Tidak marah. Mereka terima. Mereka senyum. Mereka jalani takdir dengan ikhtiar dan tawakal.
Setiap Orang Punya Takaran Ujiannya Sendiri
Salah satu dari mereka berkata, "Kadang gue ngiri liat orang bisa liburan sama keluarganya. Tapi terus gue inget---hidup tiap orang udah ditulis beda-beda. Hidup bukan lomba." Kalimat itu sederhana, tapi dalam. Tidak mudah memegang prinsip itu di tengah dunia yang penuh perbandingan. Tapi Islam mengajarkan kalau rezeki setiap orang sudah ditentukan, kalau ujian setiap orang sudah ditakar sesuai kemampuannya. "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS. Al-Baqarah: 286)
Mereka bicara bukan dengan dalil, tapi dengan hati yang bertawakal. Mereka sadar kalau setiap orang punya jalannya. Ada yang diuji dengan harta, ada yang diuji dengan kekurangan. Ada yang ujiannya tampak jelas, ada yang tersembunyi. Tapi yang Allah lihat bukan jenis ujiannya, melainkan bagaimana seseorang menyikapinya.
Ujian yang Diam, Tapi Allah Lihat Semuanya
Mudah rasanya merasa tertinggal. Merasa hidup orang lain lebih ringan. Tapi ujian bukan cuma soal berat-ringan. Rasulullah dan para sahabat pun mengalami lapar, kehilangan, kesedihan. Bukan karena Allah tidak mencintai mereka---justru karena cinta-Nya besar. Yang membuat mereka mulia bukan karena hidup mereka mudah, tapi karena mereka sabar dan ikhlas dalam menjalaninya.
Setiap sopir, setiap pekerja kasar, setiap ibu yang pulang malam menggendong anaknya---mereka sedang bersabar. Dalam diam. Dalam lelah. Dalam upaya yang tak dilihat manusia, tapi dicatat malaikat. Salah satu dari dua pria itu berkata, "Gue udah belajar nerima kapasitas gue. Gue bukan robot. Kadang gue cuma butuh duduk, ngopi, mikir." Bukan karena malas. Tapi karena dia tahu dirinya manusia.
Dalam Islam, istirahat itu bukan dosa. Menjaga tubuh adalah bentuk ibadah. Menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat bukan kemewahan---itu jalan yang dijalani oleh Rasulullah sendiri. Dan dua pria itu, tanpa mengutip satu hadis pun, sedang menjalani teladan itu.