Mohon tunggu...
DIAZ MARISCAPUTRY
DIAZ MARISCAPUTRY Mohon Tunggu... mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswi yang bangga menempuh pendidikan di UIN Kyai Ageng Muhammad Besari Ponorogo. Di tengah kesibukan akademik yang menantang, saya menemukan ketenangan dan pengembangan diri melalui hobi membaca. Bagi saya, membaca bukanlah sekadar mengisi waktu luang, melainkan sebuah filter intelektual. Saya memiliki fokus khusus pada literatur yang bersifat inspiratif, mendalam, dan kaya akan nilai-nilai positif, baik itu di bidang spiritualitas, filsafat, sejarah peradaban Islam, maupun pengembangan karakter. Kebiasaan ini tidak hanya memperkaya wawasan saya, tetapi juga membentuk pandangan hidup yang optimistis dan berlandaskan pada kebijaksanaan, sejalan dengan semangat keilmuan yang diajarkan di kampus UIN Kyai Ageng Muhammad Besari Ponorogo.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Meluruskan Sejarah G30S: Menyingkap Rekayasa di Balik Tragedi Lubang Buaya

12 Oktober 2025   11:59 Diperbarui: 12 Oktober 2025   11:59 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Fakta Forensik: Bukti yang Menentang Propaganda

Meskipun narasi penyiksaan tersebar luas, fakta-fakta yang ditemukan oleh tim forensik membantah klaim tersebut. Tim dokter yang melakukan autopsi, dr. Lim Joe Thay dan dr. Liaw Yan Siang dari Universitas Indonesia, secara tegas menyatakan bahwa tidak ditemukan tanda-tanda penyiksaan keji. Menurut pengakuan dr. Liaw, tidak ada mata yang dicungkil atau alat kelamin yang dipotong pada jenazah para jenderal. Kematian mereka disebabkan luka tembak atau benturan benda tumpul, dan kondisi jenazah yang memprihatinkan disebabkan oleh pembusukan dan tekanan di dalam sumur. Meskipun Presiden Soekarno berupaya melawan hoaks tersebut, narasi yang dikendalikan oleh Orde Baru sudah terlanjur melekat di masyarakat. Setelah otopsi selesai, pada 5 Oktober 1965 para jenazah disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, sebagai bagian dari upaya pemerintah mengukuhkan narasi versi mereka. 

Kesenjangan antara narasi yang dikampanyekan oleh Orde Baru dan temuan forensik ini menjadi dasar bagi isu "rekayasa di Lubang Buaya." Film propaganda Pengkhianatan G30S dan Monumen Pancasila Sakti dibangun untuk memperkuat narasi tersebut sebagai simbol kekejaman PKI untuk membenarkan pembersihan ideologis massal terhadap orang-orang yang dicurigai terlibat PKI. Tujuannya jelas: mendiskreditkan PKI sebagai musuh bangsa yang biadab dan membenarkan tindakan represif terhadap kelompok kiri, sekaligus mengkonsolidasikan kekuasaan Soeharto.

Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) menyisakan misteri sejarah karena bukti-bukti yang tersedia cenderung tidak dapat diandalkan, sebab sebagian besar direkayasa oleh Angkatan Darat untuk melancarkan kampanye anti-PKI pasca kejadian. Bukti-bukti yang digunakan rezim Soeharto, termasuk laporan interogasi tahanan politik yang sering disertai ancaman penyiksaan, dan kisah fiktif tentang pengikut PKI yang menyiksa jenderal, serta perempuan Gerwani yang menari telanjang, terbukti merupakan rekayasa absurd yang sengaja dibuat untuk menyesatkan publik. Akibatnya, baik pihak yang kalah maupun pihak yang menang tidak menyajikan keterangan yang layak dipercaya, membuat identitas pasti pembunuh para perwira tinggi hingga kini masih belum terpecahkan.

 

Kesimpulan: Menafsir Ulang Sejarah untuk Kebenaran

Kontroversi seputar Lubang Buaya menunjukkan betapa rentannya sejarah terhadap manipulasi politik. Sejak jatuhnya Orde Baru, banyak sejarawan mulai mengkaji ulang peristiwa G30S, mempertanyakan narasi tunggal yang telah lama dipercaya. Beberapa teori baru muncul, seperti dugaan bahwa G30S sebenarnya merupakan konflik internal militer yang kemudian dimanfaatkan Soeharto untuk melengserkan Soekarno. Dengan demikian, Lubang Buaya bukan hanya sekadar situs sejarah, melainkan simbol dari sebuah rekayasa sejarah yang berhasil mengukuhkan kekuasaan dan membenarkan pembantaian massal juga simbol dari manipulasi narasi untuk kepentingan politik. Menggali kebenaran di balik tragedi ini adalah langkah krusial untuk meluruskan sejarah dan belajar dari masa lalu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun