Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Tentang Hujan dan Takdir (Para) Tuhan

25 Desember 2019   19:26 Diperbarui: 26 Desember 2019   00:32 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tak banyak mansusia yang bisa mendengar bahkan tak sanggup mendengar. Mereka lebih suka bicara ketimbang mendengar. Mereka takut akan kritik dan celotehan tak enak untuk telinga dan hatinya tanpa perduli perasaan orang lain. Lalu untuk apa telinga diciptakan sepasang dan mulut hanya sabiji.

Begitulah pergulatan dalam batinku. Hingga akhirnya, sampai detik ini lebih suka berdiskusi dengan kopi dan rokok. Bila malam menjelang, rembulan akan menemani. Saking seringnya memuntahkan lara atau bahagia, aku tahu kapan rona dan bentuk indahnya akan keluar. 

Dipertengahan bulan, tiap hari ke 15, keindahannya akan nampak. Bahkan bintang tak sanggup mengalihkan cantiknya. Ketiganya amat setia mendengarkan rancauanku yang lebih riuh ketimbang ribuan penonton di tribiun dengan berbagai umpatan di selanya.

Begitu pula hari ini, jam tangan digitalku menunjukan angka 19.37 WIB. Kala hujan tak kunjung reda di tanah Jakarta. Aku berteduh pada sebuah warung kelontong tua, dekat terminal bus selepas liputan. Dalam dekapan awan hitam, bulan tak nampak, aku hanya berkawan dengan kopi dan rokok. 

Ditengah guyuran hujan, jalanan becek didepanku menarik pandang. Aku ingat tentang cinta yang tumbuh kala hujan pertama mengguyur Jakarta. Saking sukanya dengan momen itu, aku bahkan hafal kapan kejadian ini berlangsung, yakni hari ke 10, di bulan 10, tahun ke 2010 masehi.

Para pujangga bilang, hujan membawa kenangan, tapi bagiku hujan membawa cinta dan kisah baru. Layiknya perjalananku dengan Brigitta Vionetta, sosok wanita bermata teduh dengan keteguhan mendalam. 

Aku ingat momen ketika kami jalan bersama ditengah rintik hujan menuju sebuah stasiun kereta. Petir bersautan, kadang ia terkaget. Aku hanya tertawa sambil memandangi wajah cantiknya. 

Di bawah bulan yang nampak malu-malu, kami menyusuri jalan dari kantor menuju stasiun. Hanya 6 menit waktu yang dibutuhkan. Lalu kami tiba di persinggahan, tempat biasa kami menunggu kereta, di lantai dua stasiun. Hingga kini tempat itu serasa dibuat hanya untuk kami.

Sampai di sana, kami memandang ke utara, melihat pembangunan Jakarta yang angkuh. Berderet gedung baik yang sudah dan belum selesai pembangunannya. Melupakan penduduk dibawahnya yang harus tidur dalam sebuah becak atau mengampar di tepi jalan. 

Di momen itu, aku mengungkapkan rasa dengan seseorang sepertinya yang memiliki segudang kelebihan terlebih paras dan materi. Sifat dan sikap kita yang kerap bersebrangan juga menjadi penghalang. Minder. Apalagi ketika ia sering bercerita soal mantan kekasihnya yang sudah berada di level atas dengan segala macam pernak pernik kemewahan duniawi. 

Apalah aku yang hanya seorang kuli ketik. Profesi paling naif yang tiap hari harus bergelut dengan idealisme, objektifitas semu, dan masalah perut yang tak pernah berdamai bila mengindahkan uang sampingan selepas liputan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun