Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Perjuangan "Menyelamatkan Muka" 2 Tim Pesakitan

26 Mei 2018   06:08 Diperbarui: 26 Mei 2018   09:04 1853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsuf asal Yunani, Haracticus, pernah mengatakan bahwa perjuangan adalah bapak segala sesuatu. Selanjutnya ia menuturkan bahwa semua sumber mata pencaharian yang ada adalah produk dari lawan yang saling tarik-menarik.

Dapat dikatakan bahwa sesuatu yang saling kontra terhadap setitik nilai, akan membuat satu konflik dan kelak akan membuahkan perjuangan. Baik dari pihak inferior maupun superior, keduanya akan memperjuangkan sebuah nilai yang dianggap benar menurutnya.

Dengan alasan itu pula, sebagian besar wilayah Hindia Belanda memperjuangkan satu nilai yakni kemerdekaan. Hindia Belanda yang kini dikenal dengan nama Indonesia setelah merdeka, melakukan perjuangan guna terlepas dari cengkraman para penjajah. Dan penjajah melakukan serangkaian aksi mempertahankan tanah jajahan paling bernilai itu dengan memperbanyak tentara di wilayah koloni.

Untuk mencapai kemerdekaan, cara yang dilakukan masyarakat Hindia Belanda saat itu beraneka ragam. Mulai dari perjuangan bersenjata berdasarkan kehormatan kerajaan tempat warga bermukim, perang yang tercipta berkat semangat kedaerahan, sampai pada kesadaran merdeka secara nasional melalui kontak senjata dan perjuangan lewat jalur politik.

Cara paling akhir tadi dianggap paling modern ---diplomasi, demonstrasi, mogok kerja, dan beraliansi--- sangat umum terjadi ketika Indonesia kebanjiran pelajar yang menimba ilmu di luar negeri. Dan cara perjuangan tersebut masih dilakukan hingga kini, ketika Indonesia telah diakui dunia sebagai negara berdaulat. Cara-cara modern tersebut dianggap sebagai tradisi nagara-negara penganut paham kebebasan bagi rakyat alias demokrasi.

Dunia sepak bola juga mengenal perjuangan. Perjuangan untuk merengkuh gelar atau nilai paling modern, meraup untung setumpuk gunung.

Setiap klub memiliki caranya sendiri dalam mencapai tujuan tersebut. Real Madrid membeli pemain berlabel bintang dengan proyek Galacticos, memupuk pemain muda akademi layaknya Manchester United dengan klompok Class of 90-nya, hingga menyebar pemandu bakat ke pelosok dunia seperti AS Monaco.

Hasilnya pun terlihat, Los Galacticos sampai sekarang menjadi klub tersukses meraih Liga Champions, MU mendapat trabel pada musim 1998/1999, dan sukses besar Monaco pada musim 20016/2017 karena berhasil memenangkan Ligue 1, menjadi semifinalis Champions. Bahkan klub asal Monako ini berhasil meraup keuntungan sebesar 394 juta euro menurut catatan CIES Football Observatory pada jendela transfer musim panas 2017.

Sehingga jelas, setiap kelompok sepak bola pasti memiliki tradisi berbeda dalam mengejar setitik nilai. Walau memiliki tujuan sejenis, tapi mereka memiliki perbedaan cara untuk mendapatkannya, termasuk Liverpool.

Liverpool merupakan klub sarat tradisi mengangkat piala bergengsi mulai dari tingkat nasional hingga internasional. Kesebelasan asal kota Liverpool ini memiliki catatan fantastis dengan mengolaksi 5 trofi Liga Champions, menjadi yang terbanyak di Britania Raya, merengkuh masing-masing 3 trofi pada pentas Liga UEFA dan Super Eropa.

Prestasi mereka dalam kompetisi domestik juga mencolok. Mengoleksi 18 gelar juara Liga Inggris, 7 Piala FA, serta 7 kali juara Piala Liga.

Sayangnya dalam beberapa tahun belakang, mereka mulai kehabisan oli. Terakhir kali The Reds mengangkat tropy mayor yaitu saat mereka berhasil mengalahkan AC Milan di final Liga Champions tahun 2005.

Cara mereka menjadi klub dengan tradisi juara yaitu dengan membeli beberapa pemain. Sayang, setelah era keemasan mereka pada medio 80-an, kebijakan transfer Liverpool tak secemerlang biasanya.

Mereka terlihat hanya membeli pemain-pemain untuk "mengisi kekosongan". Tak ada semangat merengkuh gelar seperti sedia kala. Kedatangan Steven Gerrard menjadi angin sorga pada tahun 1998.

Pria berposisi sebagai gelandang tersebut berhasil membawa gairah Liverpool menjadi klub yang patut diperhitungkan sebagai penanantang gelar. Tahun 2001 menjadi tahun terbaik mereka setelah terperosok dan memenangkan banyak gelar dalam semusim yakni Piala Liga Inggris, Piala FA, Piala UEFA, Community Shield dan Piala Super UEFA.

Walau taktik bertahan dan mengandalkan serangan balik milik Gerard Houllier terbukti mampu menghadirkan banyak gelar, lama kelamaan taktik ini sangat mudah diantisipasi oleh lawan, sehingga pada 24 Mei 2004, Houllier digantikan oleh Rafael Benitez. Kehadiran pria asal Spanyol ini akhirnya mampu merebut titel Liga Champions untuk kali kelima pada tahun pertamanya menahkodai Gerrard dan kolega.

Namun dengan latar belakang dukungan, tradisi juara yang telah terpupuk, keangkeran Anfield Staduim, dan pelatih "roker" pada sosok Jorgen Kloop, tahun ini The Reds memupuk asa menjadi yang terbaik di Eropa. Mereka selangkah lagi mampu mengangkat titel Liga Champions 2018 jika sukses menjungkalkan Real Madrid di final nanti.

Ada sebuah anekdot di Inggris tentang sebuah tim olahraga yang gagal meraih prestasi padahal kemenangan sudah ada di depan mata dengan sebutan Devon Loch. Ia adalah nama kuda balap milik Ibu Suri Elizabeth yang roboh saat balapan kuda tahun 1956. Padahal kuda sang ratu memimpin pada pertandingan waktu itu dan garis finish telah terlihat. Sejak saat itu namanya diabadikan sebagai kiasan seseorang atau sebuah tim olahraga yang gagal padahal kemenangan ada di depan mata.

Meskipun Real Madrid babak belur di liga domestik, mereka membawa semangat sebagai klub pertama yang mampu menjuarai Liga Champions 3 kali beruntun. Semangat mempertahankan gelar tersebut jelas menjadi lecutan semangat anak asuh Zidan selain menyelamatkan muka Madrid yang tercoreng musim ini. Menariknya, Liverpool merupakan kesebelasan terakhir yang mampu mengalahkan Madrid di final Liga Champions.

Tentu, kemenangan Liverpool menjadi harapan besar para penggila bola agar Madrid tak mampu menjadi tim pertama yang bisa memenangkan titel Liga Champions 3 kali beruntun. Dan sudah pasti, Barcelona mengharapkan hal serupa agar rival terberat mereka di liga domestik "tidak berisik" dalam persiapan menghadapi musim depan.

Jadi, perjuangan siapakah yang lebih hebat? Misi membusungkan dada ala Madrid atau perjuangan Liverpool menuntaskan dahaga gelar mayornya selama 13 tahun? Semuanya akan terjawab ketika wasit Milorad Mazic meniupkan peluit akhir di Stadion NSC Olimpiyskiy, Kiev, Sabtu (26/5) dini hari nanti.

D.A
Palmerah, 26 Mei 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun