Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lebaran di Sebuah Dusun Kecil, Sebuah Catatan

25 Mei 2020   04:49 Diperbarui: 25 Mei 2020   05:15 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lagu "Selamat Lebaran" ciptaan Ismail Marzuki demikian terkenal. Saking terkenalnya, banyak orang begitu akrab dengan lagu itu tetapi tidak ingat siapa penciptanya. Lagu yang terus mengabadi bersama nilai Lebaran yang terus mengalami aktualisasi.

Sekedar sebagai pengingat, di bawah ini adalah lirik lengkap lagu tersebut:

Selamat hari lebaran
Minal aidin wal faizin
Mari bersalam-salaman
Saling bermaaf-maafan

Ikhlaskanlah dirimu
Sucikanlah hatimu
Sebulan berpuasa
Jalankan perintah agama

Selamat hari lebaran
Minal aidin wal faizin
Mari mengucapkan syukur
Ke haadirat Illahi

Kita berkumpul semua
Bersama sanak saudara
Tak lupa kawan semua
Jumpa di hari bahagia

Selamat hari lebaran
Minal aidin wal faizin

Pak Mitropawiro, tetangga kami di dusun kecil, sepagi tadi setelah sholat Ied sudah mengetuk pintu rumah Lik Ti untuk "ujung", mengunjungi untuk bersilaturahmi. Lik Ti adalah adik Bapak. Paling kecil dalam keluarga Simbah Kromodimedjo. Simbah Kromowirjo adalah eyang buyut kami.

Karena hanya berputra satu, dari Simbah Kromowirjo kami tidak memiliki banyak kerabat langsung. Dari Simbok Kromodimedjo, Bapak bersaudara empat orang. Sulung di Pekanbaru. Sementara nomor dua (dulu) tinggal di Dusun Sawangan. Lik Ti (Lucia Sukarti) dan Bapak Hadiwinata tinggal di Posong.

Pak Mitro, Lik Ti dan Bapak praktis menghabiskan waktu bersama sepanjang hayat. Bapak hanya sempat bertugas di Kebumen dan Wirogunan di Yogyakarta, lalu kembali tinggal di Posong.

Pak Mitro sewaktu masih kuat adalah seorang petani sambil membagi jasa "megawe", yaitu membajak sawah dengan bantuan dua ekor kerbau.

Pengalaman menaiki "garu", alat bajak perata setelah dipakai "luku", selalu hebat. Meski ekor kerbau akan mengibaskan lumpur ke seluruh permukaan wajah dan pakaian. Bapak akan mengangkat tubuh kecil dari pematang, lalu diposisidudukkan pada rangka garu yang terbuat dari bambu.

Luku dipakai untuk membalik permukaan tanah setelah "damen" (pohon padi) dibabat habis. Sebagian dibakar setelah dibabat untuk menghumusi tanah.

Ritual berikutnya adalah merengek ke Pak Mitro, atau Pak Samin, supaya boleh ikut memandikan kerbau di sungai kecil berair jenih. Dengan sikat dari rerumputan.

Pak Mitro adalah pekerja keras. Setelah megawe, memandikan kerbau, lalu makan kiriman di sawah, selepas dzuhur harus pergi merumput pakan. Sore "ngopeni" sawah.

Ketika sawah "dimegawe", Simbok dibantu Lik Ti memasak kiriman. Waktu memasak harus dihitung pas supaya masakan siap ketika pekerjaan membajak sawah selesai. Kami makan di pematang dan kerbau dibiarkan istirahat.

Maka ingatan tentang sawah berikut kerbau dengan semua kegiatan yang dilakukan tergambar jelas. Benderang. Sangat mudah mengingat itu semua.

Idul Fitri adalah pesta bersama. Saat semua kegiatan di sawah dihentikan. Panenan sudah direncanakan. Kue-kue dari beras ketan sudah siap di stoples-stoples kaca.

Jenis kuenya? Rengginang, jipang, unthuk cacing, koyah, wajik, jadah, tape ketan, jenang, peyek kacang. Kecuali unthuk cacing dan peyek kacang, semua terbuat dari beras ketan yang ditanam sendiri. Masih ada lainnya tentu.

Ayam kampung opor dan sambel goreng tahu (jangan lupa dicampur pete) tentu pembuat lapar yang sesungguhnya di hari Lebaran. Jarang makanan enak (dan banyak) terhidang di meja makan.

Agama?

Kami lupa mendiskusikan. Semua bergembira dan bergegas menyambut Lebaran. Saling mengunjungi dan menawarkan makanan. Lebaran adalah pesta kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya. Pada waktu itu dan seperti yang saya alami.

Berapa lama Lebaran berlangsung?

Biasanya sepekan. Periode waktu yang penuh untuk beranjang-sana. Bersilaturahim. Saling memaafkan. Saling membagikan cinta.

"Muga dosamu dan dosamu lebur dina iki. Sing akeh pangapuramu." Semoga kesalahan-kesalahan kita dilebur pada hari (Lebaran) ini dengan banyak maaf untuk kita semua.

Sebuah kalimat yang begitu magis, ugahari dan egaliter. Tidak perlu ditanyakan berdasar undang-undang ayat berapa atau pasal berapa pun tahun berapa. Ketulusan sikap dan keluhuran budi sudah jauh melampaui segala pasal dan segala ayat.

Simbok, Mbah Kung dan Bapak sudah dipanggil Tuhan. Seperti itulah siklus alamiah akan terus berlangsung dan terjadi.

Tungku kayu bakar sudah diganti kompor gas. Jadah dan wajik hari ini sudah tidak ada di meja ruang tamu. Rengginang sudah lebih banyak hanya menjadi lelucon bersama kaleng biskuit Khong Guan. Tape ketan dengan air yang melimpah manis segar sudah lebih jarang dibuat.

Sepanjang malam sampai pagi ini petasan terus meletus dari tempat yang berlainan. Menandakan kegembiraan Lebaran. Disamping rasa was-was pandemi Covid19. Lagu Guyon Waton mengalun dari ruang tamu Pak Gandi, sepertinya: ...urip rasah spaneng, ra ana kowe aku ayem...

Selamat Lebaran. Mohon maaf lahir batin.

| Posong | 24 Mei 2020 | 09.08 |

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun