Mohon tunggu...
Diar Herdyan
Diar Herdyan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang pembelajar seumur hidup, sambil sesekali pesiar berwisata kuliner

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Misi Terakhir Azazil (4)

6 November 2014   17:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:29 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Cerita Sebelumnya : Misi Terakhir Azazil 3

6

Pukul 05.00 pagi, jauh diperbatasan Jakarta bagian selatan, seseorang sedang memperhatikan berita pagi terkini mengenai pembunuhan Ridwan Suhendra. Berita itu menunjukan bagaimana Ridwan ditemukan telah terkapar oleh pembantunya saat hendak mengambil handuk, dan kenyataan bahwa rumah dalam kondisi kosong karena anggota keluarga yang lain tengah pergi.

Layar televisi menampilkan sosok seorang perwira polisi yang dikenal sebagai kepala Humas Kepolisian yang memberikan statement standar bahwa saat ini kepolisian telah menyisir TKP dan memeriksa proyektil peluru yang bersarang ditubuh Ridwan, serta masih menyelidiki informasi dari saksi-saksi terkait. Raut wajah sang perwira menyiratkan rasa prihatin serta keseriusan saat mengatakan “Penyelidikan akan terus dilaksanakan hingga pelaku tertangkap”.

Tangannya menekan tombol di remote control untuk mengganti channel. Disaksikannya sebuah berita lain mengenai biografi Ridwan Suhendra serta tentu saja dugaan mengenai motif pembunuhan tersebut. Suara wartawan yang tengah melakukan liputan langsung tersebut terdengar jelas “….patut diperhatikan bahwa sangat mungkin pembunuhan ini terjadi disebabkan oleh aktifitas politik korban selaku ketua Komisi 1 DPR-RI….”

Komisi 1 DPR adalah unit kerja DPR dengan lingkup kerja bidang pertahanan, intelijen, luar negeri, komunikasi dan informasi. Dalam menjalankan fungsinya komisi ini berkoordinasi dengan Kementrian Luar Negeri, Kementrian Pertahanan, Kementria Komunikasi, Badan Intelijen Negara, Mabes TNI dan Polri, TVRI, RRI serta badan sandi Negara. Sebuah fakta yang bagus untuk memasukan dugaan operasi klandestin, batinnya berkata sambil tersenyum getir.

Tangannya kembali sibuk mengganti-ganti saluran teve. Matanya terpaku pada sebuah berita yang menampilkan seorang polisi berpakaian preman yang tengah dikejar oleh wartawan. Polisi itu berjalan dengan tergesa-gesa serta raut wajahnya menunjukan kegusaran, sangat jelas bahwa dirinya tidak mau diwawancara, namun sang wartawan tampak kekeuh mengejarnya meski harus terpontal-pontal.

“Inspektur, tunggu ! Satu komentar saja, inspektur !” Seru wartawan itu yang dijawab dengan kibasan tangan si Polisi.

“Sori, tidak ada komentar !” Langkah si Polisi kian lebar dan cepat. Sang wartawan pun menyerah, napasnya tampak ngos-ngosan saat menyampaikan berita lagi.

Hei, sepertinya aku melihat dia di TKP, mata orang itu terpaku pada sebuah teks dibawah kejadian kejar-kejaran tadi. Tampak sebuah nama tertera disitu. Iptu Ajisaka.

Iptu Ajisaka, desisnya dalam hati. Dinyalakannya notebook dan sesaat kemudian dirinya sibuk berkutat dengan piranti elektronik itu.

7

Sebuah mobil Avanza berhenti sampai agak terjungkit bagian depannya didepan rumah Ridwan Suhendra. Iptu Ajisaka melompat keluar dari mobil itu kemudian setengah berlari menuju bagian samping rumah. Para penjaga keamanan rumah langsung memberikan jalan ketika melihatnya memasuki rumah dengan tergesa-gesa.

Iptu Ajisaka merasa dirinya amatir dan super tolol. Dirinya telah dikelabuhi oleh sebuah fakta kecil yang sengaja dibuat oleh si pelaku untuk menyesatkan pihak kepolisian.Kenyataan yang membuatnya mesti tersenyum kecut mengakui bahwa dirinya memang tidak betul-betul memeriksa TKP tadi malam. Suatu hal yang haram dilakukan oleh para penyelidik dimanapun juga.

Rising star apanya, Cuma sama trik kecil seperti ini bisa ketipu ! dirinya merutuk sembari menertawakan diri sendiri. Tidak perlu lagi ia mendengar kata-kata hiperbola kawan-kawannya yang memujinya sebagai Rising star, detektif top, anak emas Reskrim atau berton-ton pujian yang lain. Toh nyatanya dia tertipu mentah-mentah seperti kadet polisi yang sedang magang di Reskrim.

Iptu Ajisaka tiba dibawah jendela berlubang yang terbuka dilantai 2. Kondisi tanah di taman samping masih terasa lembab karena hujan deras malam tadi. Sambil mengitari daerah dekat jendela ia terus memandang kebawah mengamati tanah yang berwarna coklat pekat.Terkadang ia memandang jendela dan dinding beton berwarna putih bersih yang tidak menampilkan apa-apa selain sedikit percikan noda tanah.

Sudah jelas sekarang, desisnya. Ia pun berlari menuju ke teras depan, berjumpa lagi dengan para penjaga keamanan yang masih terbengong-bengong melihat dirinya yang datang-datang langsung berlari ke taman samping.

Jendela yang berlubang itu cuma trik, ia tidak masuk lewat situ. Tapi…. Iptu Ajisaka memandangi pintu besar berdesain mewah yang berfungsi sebagai pintu masuk utama. Benaknya terus mengkaji kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi malam itu.

Tiba-tiba Iptu Ajisaka melihat kearah salah satu penjaga keamanan. Dirinya ingat bahwa dia adalah penjaga keamanan yang diminta berjaga non stop dari malam tadi hingga pagi ini.

“Hey, kamu ! Kamu yang kemarin ikut berjaga, bukan ?”

Si penjaga sedikit gelagapan tiba-tiba ditanya seperti itu, “Betul, pak. Saya yang ikut berjaga tadi malam.”

“Pada saat pak Ridwan datang, apa ada yang aneh ?”

“Tidak ada yang aneh, pak. Semuanya berjalan normal seperti biasa. Saya yang membukakan gerbang dan teman saya yang membuka pintu mobil.” Si penjaga berkata sambil mengingat-ingat apa yang ia lakukan malam itu.

“Pak Ridwan masuk kerumah seorang diri ?”

“ Sepertinya begitu, pak. Yang tahu pasti rekan saya yang membuka pintu mobil.”

“Kamu yakin tidak ada yang aneh ? Mungkin ada kejadian yang terjadi sesaat sebelum pak Ridwan tiba ?”

“Tidak ada apa-apa, pak. Cuma memang kami sempat pesan kopi di warung seberang. Mamangnya sendiri yang mengantarkan kopi itu, sepuluh menit menjelang pak Ridwan datang. Oh iya, kami memang mengobrol pas pak Ridwan datang.”

Mata Iptu Ajisaka membesar.

“Ada warung dekat sini ? Dimana ?”

Si penjaga menunjuk ke sebuah titik di seberang jalan yang tertutupi gerumbulan dedaunan dari pohon kiara payung, “Disana,pak.”

Iptu Ajisaka memandangi lokasi titik yang ditunjuk penjaga tadi, “Kamu masih ingat, setelah membuka gerbang si mamang tadi masih ada disini apa tidak ?”

“Sudah tidak ada, pak. Saya pikir sudah pergi karena sungkan sama pak Ridwan…” Wajah si penjaga berubah.

Iptu Ajisaka pun bergegas menuju ke gerumbulan pohon kiara payung diseberang sambil mengajak satu orang penjaga bersamanya, “Cepat, kamu hubungi rekan saya Ipda Gunawan. Katakan semua hal yang tadi kamu ceritakan pada saya !” Ujarnya pada si penjaga yang satu lagi.

Dia tidak masuk dari samping, tapi dari depan. Seperti seorang tamu, menyaru sebagai penjual warung kopi ! Jantung Iptu Ajisaka berdebar-debar memikirkan hal itu. Sebuah langkah yang sungguh nekad bagi seorang pembunuh, atau justru sebuah kepercayaan diri yang kuat karena telah menguasai medan ?

Jika dia sudah memikirkan segalanya, maka kami benar-benar berhadapan dengan seorang pro ! Telpon selularnya terasa bergetar. Sebuah telpon dari Ipda Gunawan. Kebetulan sekali, pikirnya.

“Halo ?”

Terdengar suara Ipda Gunawan diujung saluran, “Ada sebuah info terkait dengan aktivitas terakhir korban sebagai ketua komisi I. Aku rasa hal ini dapat menjadi sebuah motif.”

“Bagus, sekarang kau segera ke TKP. Aku mengetahui bagaimana cara si pembunuh itu masuk.”

“Dari jendela, bukan ?” Suara Ipda Gunawan terdengar heran.

“Tidak, dari pintu masuk !”

(Bersambung)


Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun