Kerja bareng saudara selalu menjadi tantangan tersendiri. Tidak bisa dipungkiri, pergolakan batin antara balas budi dan keinginan mengejar mimpi sendiri selalu menghantui. Namun selalu ada hikmah di balik semua yang terjadi. Seperti apa yang saya alami belasan tahun lalu.
Kisah saya berikut ini adalah kisah yang tidak akan pernah terlupakan. Karena ternyata pengalaman kerja bareng saudara telah membuat dunia saya berputar begitu cepat, unik, bikin syok sekaligus membuat saya harus bersyukur dan berkali-kali berterima kasih pada bibi. Orang yang begitu banyak memberi saya pelajaran.
Semua berawal ketika saya kuliah semester lima. Saat itu saya sudah punya pekerjaan mengajar di sebuah Taman Kanak-Kanak swasta yang terbilang besar. Masuk ke sana dibawa dosen yang kenal dengan pemilik yayasan. Gaji besar (jauh dengan standar guru TK pada umumnya waktu itu) hanya saja harus siap tinggal di mess dekat sekolah. Saya pun harus berpisah dari paman dan bibi yang selama ini menampung saya tinggal sejak pertama kali masuk kuliah.
Dua tahun bekerja di TK, saya akhirnya menyelesaikan kuliah dan mendapatkan gelar sarjana. Bibi yang selama ini membuka lembaga pendidikan SMP, meminta saya untuk turut mengajar di sekolahnya, mengisi kekosongan guru.Â
Demi bakti kepada orang yang telah berjasa selama ini, saya mencoba mencari jalan keluar bagaimana caranya pekerjaan tetap jalan dua-duanya. Akhirnya saya tetap mengajar di TK yang hanya sampai pukul 11 dan mengambil jam pelajaran selepas zuhur di sekolah milik bibi. Karena sekolahnya memang sekolah semi fullday. Bersyukur saat itu jadwal masih bisa disiasati, tentu saja atas bantuan bibi.
Tahun kedua mengajar di SMP, jadwal berubah karena harus menyesuaikan dengan jadwal guru lain. Ada jam mengajar pagi hari. Hal tersebut membuat saya cukup kesulitan membagi waktu karena jarak tempuh yang cukup jauh. Dengan berat hati akhirnya saya harus melepaskan TK dan memutuskan untuk hanya mengajar di SMP milik bibi.
Mencoba Melamar ke Sekolah Lain
Mimpi besar untuk menjajal kemampuan diri---mendapat pekerjaan dengan tanpa bantuan orang dekat, diam-diam saya mencoba melamar pekerjaan di tempat lain menjelang akhir tahun ajaran, karena ada info lowongan pekerjaan yang sangat menjanjikan.Â
Alasan bahwa selama ini saya bekerja di sekolah bibi atas permintaan dan saya hanya bersifat menggantikan guru di mata pelajaran yang kosong menjadi alasan tambahan mengapa saya harus mencoba peruntungan baru.
Lagi pula saya masih penasaran dengan kemampuan sendiri. Ingin merasakan lolos seleksi kerja tanpa bantuan orang dalam sebagai bentuk aktualisasi diri. Saya yakin, pada akhirnya bibi pasti akan mengerti mimpi keponakannya.
Saya pun diterima untuk menjadi guru kelas. Beberapa tahapan seleksi yang ketat membuat saya tertantang untuk melakukan segala yang terbaik. Saya menikmati proses seleksi walaupun banyak hal-hal yang baru saya temui.Â
Mungkin memang harus seperti itu, pikir saya.
Tahapan seleksi yang berat pun saya berhasil dilalui dengan susah payah. Rasa bangga pun saya rasakan karena telah mengalahkan banyak kandidat. Sampai hal ganjil pun saya dapatkan ketika menjelang sesi wawancara dengan kepala sekolah. Sebuah tahapan akhir di sana, konon itu sekaligus tanda tangan kontrak.
Sebuah pesan singkat masuk, "Dek, yakin mau kerja di sana?"
Kakak kelas saat kuliah yang ternyata mendapatkan informasi bahwa saya melamar di sana. Entah dari mana informasi itu. Namun yang lebih mengagetkan lagi, kakak kelas tersebut mempertanyakan sikap saya. "Apakah kamu tidak tahu, siapa yang ada di belakang yayasan itu?"
Setumpuk Tugas Dadakan Menjadi Penyelamat
Belum selesai mencari tahu tentang lembaga itu, tepat di ujung tahun ajaran, bibi malah menempatkan saya di sekolah untuk membantu proses PPDB. Seolah tidak mau tahu apa yang sedang saya hadapi, "pokoknya kamu bibi kasih tanggung jawab di sini," katanya. Serentet tugas pun saya terima dengan berat hati---bukan ini yang saya inginkan.
Kebingungan saya semakin menjadi. Lusa harus menemui kepala sekolah. Pekerjaan impian sudah di depan mata. Honor yang fantastis terbayang sudah.Â
Anak muda seperti saya bakalan cepat kaya dengan honor sebesar itu, batin saya. Bahkan honornya bisa sampai tiga kali lipat guru di sekolah bibi.
Keesokan harinya sekolah bibi mengadakan rapat. Saya yang semula hanya diberi sedikit jam ternyata langsung ketuk palu, secara resmi nama saya tercantum sebagai salah satu panitia PPDB yang ada di bawah kesiswaan.Â
Saya wajib merekap semua data siswa tidak boleh ada yang terlewat. Setiap hari harus standby, sekaligus bertugas menerima tamu. Seolah menjadi seorang resepsionis yang bertugas sebagai pemberi segala informasi tentang sekolah.
Malam hari, saya menyempatkan diri merenung. Meminta petunjuk apa yang harus dilakukan. Akhirnya pasrah pada Allah. Bekerja di sekolah bibi adalah bentuk bakti saya kepadanya. Saya harus siap membantu setiap saat.
Pagi itu saya melangkah dengan bergegas. Bukan menuju tempat pertemuan dengan kepala sekolah tempat saya melamar kerja, melainkan pergi bertugas di sekolah bibi sepagi mungkin.
Sambil menunggu tamu yang daftar, saya iseng browsing. Kalimat kakak kelas pun memotivasi, sebaiknya cari tahu dulu sebelum terlambat. Dan saat saya menemukan kenyataan, mata saya pun terbelalak. Ternyata lembaga yang saya masukan lamaran, didirikan dan disokong langsung oleh seorang tokoh dari sebuah paham yang sangat jauh dari agama islam bahkan dinyatakan sebagai ajaran sesat.
Rumornya banyak beredar, tetapi tetap dibiarkan bebas bahkan lantang tetap mendirikan lembaga pendidikan berkedok pendidikan Islam.
Langsung saja saya kirim pesan kepada kepala sekolah, bahwa dengan berat hati saya mengundurkan diri. Ia pun menyayangkan keputusan saya.
Dari paksaan bibi agar saya bertugas, itu adalah sebuah penyelamatan yang sangat berarti bagi saya.
Setiap saya ingat kejadian itu, saya bergidik dan merasa sangat bersyukur karena telah dijejali tugas oleh bibi. Ternyata kerja bareng saudara telah memberikan pelajaran tersendiri meskipun harus mengubur mimpi sejenak demi rasa hormat dan terima kasih atas kebaikan mereka selama ini.Â
Bersyukur, akhirnya kini saya bisa menjalani profesi yang sesuai dengan passion tanpa harus serba salah karena memiliki atasan yang ada ikatan saudara. Bibi akhirnya mengizinkan saya mengambil jalan sendiri.Â
Ilmu dan pengalaman yang saya dapatkan selama bekerja dengan bibi menjadi bekal terbaik untuk kehidupan saya selanjutnya.
Terima kasih untuk bibi dan (alm) paman tercinta atas semua kebaikannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI