Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jangan Menangis Lagi

11 Juli 2020   12:30 Diperbarui: 11 Juli 2020   13:21 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sekuat dan sehebat apapun seorang perempuan, tetap saja ia memerlukan perlindungan. Memerlukan bimbingan dan pendampingan," katamu di tengah isak tangis.

Aku menelan ludah. Lidahku kelu tak bisa mengucap sepatah katapun. Benar apa yang kamu katakan. Kamu memang cerdas, hebat, dan aku mengagumimu. Hal apa pun mungkin saja bisa kamu lakukan, dengan kemampuan yang kamu punya. Aku sangat percaya itu. Namun bagaimanapun kamu tetap perempuan. Yang sudah selayaknya mendapatkan perlindungan dan naungan.

Lina, aku tahu sabarmu sudah teruji. Kisah pilu yang menimpamu beberapa tahun lalu telah menjadikanmu seorang perempuan yang kuat dan tegar. Kamu hidup sebatang kara, membawa beban 1 orang anak perempuan yang imut-imut usia empat tahun. Bola matanya begitu indah seperti bola matamu. Bibirnya mungil berwarna merah jambu. Rambutnya terurai lurus, menambah manis parasnya. 

Kadang aku tak tega melihatnya, hatiku terenyuh. Anak sekecil dan selucu itu harus kehilangan kasih sayang seorang ayah. Namun lagi-lagi aku kagum padamu. Luna, anak perempuan kecil itu cukup dewasa untuk menerima keadaannya kini. Aku lihat dia tak pernah merengek manja. Kamu hebat Lina, bisa menjadi Ibu sekaligus Ayah baginya. 

"Ah, andai kita bertemu di masa lalu Lina," gumamku.

Namun nyatanya waktu tak akan pernah bisa diputar. Kita hadir di dunia dengan cerita masing-masing. Aku dengan ceritaku kini, dan kau yang sekarang dengan kehidupanmu bukan tanpa alasan Tuhan membuat hidupmu sedemikian rupa. Aku yakin, Tuhan membebanimu karena Tuhan percaya bahwa kamu kuat. 

"Jangan menangis lagi Lina," kataku. 

Ingin rasanya aku menyeka air matamu. Lalu menenggelamkan tubuhmu di pelukku. Meredakan isak tangismu, dan membuatmu merasa lebih lega. Namun lagi-lagi itu hanya khayalan, aku tak mungkin melakukannya.

"Ya Mas," jawabnya seraya mengangguk perlahan. 

Dihapusnya airmata yang masih menggenang di sudut mata oleh ujung kerudung yang dikenakannya. Kemudian, "aku memang tak boleh bersedih, anak semata wayangku tak boleh tahu kalau ibunya cengeng. Namun kadang aku butuh orang yang bisa mendengarkan, Mas," ujarnya. 

Tangis Lina kembali menjadi. bahunya berguncang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun