Semua bermula dari sebuah ketidaksengajaan---sekumpulan lelaki dari Depok yang datang ke Jogja untuk liburan. Saat itu, salah satu sahabat dekat saya memberi kabar bahwa ia sudah berada di Gunung Kidul, bermain di pantai. Ia mengajak saya untuk menyusul, bersama beberapa teman lain yang masih berada di kawasan Prambanan.
Dari pusat kota Jogja, kami berempat pun memutuskan untuk menuju Gunung Kidul, menyusul empat teman kami yang sudah lebih dulu tiba di sana. Perjalanan kami bukan sekadar kunjungan---sejak awal kami memang berniat menginap di rumah keluarga Rio, tepatnya di kediaman si Mbok dan si Bapak.
Senja itu, kami hampir tersesat. Niat melihat matahari terbenam harus tergantikan oleh waktu Maghrib yang datang lebih dulu. Namun tak lama, kami berhasil menemukan rumah yang dituju---hangat, sederhana, dan penuh sambutan. Di sanalah kami disambut oleh si Mbok dan keempat teman kami yang lain.
Malam itu menjadi lebih dari sekadar pertemuan. Kami saling memperkenalkan diri, bertukar cerita, dan perlahan mulai akrab. Suasana yang tumbuh begitu alami itu membangkitkan kerinduan dalam diri saya---akan rumah di Sumatera, akan suara tawa keluarga dan riuh candaan teman-teman lama. Kehangatan makan malam, perkenalan yang tulus, dan sambutan warga desa membuat saya merasa pulang, meski sedang jauh dari rumah.
Setelah makan malam yang menghangatkan jiwa dan menenangkan rindu, kami menyusun rencana untuk menjelajahi beberapa pantai keesokan paginya. Kami para perempuan sepakat untuk membangunkan para lelaki jam 3 subuh---bahkan sambil bergurau, kami mengancam akan menginjak leher mereka jika tak bangun, gaya khas perempuan Sumatera. Dan benar saja, mereka baru terbangun setengah jam kemudian setelah berbagai upaya dramatis.
Setelah persiapan selesai pukul 4 pagi, kami langsung menuju Pantai Kosakora. Di sana kami mendaki bukit untuk melihat matahari terbit. Tapi sebelum itu, kami mampir dulu ke warung kecil di bawah bukit untuk mengisi perut. Niatnya ingin makan nasi goreng, tapi ternyata tidak ada nasi. Akhirnya, mie instan pun jadi penyelamat, meski keinginan makan nasi dan mie sekaligus harus dipendam.
Mendaki bukit Kosakora dengan kondisi mengantuk dan badan kurang fit membuat saya hampir menyerah. Namun, salah satu kenalan baru saya menggenggam tangan saya dan menemani hingga ke puncak. Sesampainya di atas, saya sempat merasa mual dan ingin muntah, tapi tidak bisa. Ia pun membantu saya dikerokin sampai merah, dan untungnya saya membawa baju ganti. Setelah berganti pakaian, saya merasa lebih baik.
Barulah saya bisa benar-benar menikmati indahnya ciptaan Tuhan dari ketinggian, bersama teman-teman. Kami berswafoto, merekam momen, dan mengabadikannya di media sosial---bukan untuk pamer, tapi sebagai bukti nyata bahwa kami pernah menikmati masa muda yang tak bisa diulang dua kali.
Kami menghabiskan waktu di sana sampai sekitar pukul setengah satu siang, lalu melanjutkan perjalanan ke Pantai Kesirat. Meski ramai oleh wisatawan, kami tetap bermain air dan pasir meskipun panas matahari Jogja menyengat. Kami punya candaan khas: "Orang berkulit tan lebih disukai bule," sebuah lelucon untuk menenangkan diri di tengah kulit yang mulai menggelap.
Setelah puas bermain air, kami langsung pulang ke rumah si Mbok tanpa sempat membilas pakaian. Setibanya di rumah, kami mandi bergantian dan kembali disuguhi makanan rumahan yang membuat kami semua rindu---akan kampung halaman, keluarga, dan rasa aman yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Kami juga berpamitan kepada Mbak dan Mas dari orang tua Dek Bian, yang sebelumnya sudah banyak berbincang dengan kami dan menyambut kami dengan hangat dan ceria. Perpisahan itu membawa perasaan campur aduk---penuh syukur, tapi juga kehilangan.
Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan ke Malioboro untuk membeli oleh-oleh dan berswafoto di Titik Nol Kilometer. Di sana, kami kembali menyusun rundown untuk perjalanan selanjutnya. Kota Jogja yang cantik menemani kami hingga tiba kembali di kosan Perambanan. Kami pun bersih-bersih dan beristirahat.
Mereka melanjutkan perjalanan ke Bantul dan Imogiri tanpa saya, lalu pulang ke Bandung, Depok, dan Tangerang. Semuanya terasa begitu cepat, dan begitu menggetarkan hati. Saya yang tinggal sendiri di Jogja, harus kembali menelan sunyi. Perjalanan pulang mereka diiringi tangis yang terpendam---sama seperti saya, yang merasa sepotong jiwa ikut pergi bersama mereka. Pelukan perpisahan itu terasa seperti mengoyak hati. Rasanya hancur, karena selama beberapa hari terakhir, mereka membuat saya merasa hidup kembali. Saya ingin ikut mereka, tapi masih banyak yang belum selesai di sini.
(Aku membuat ini untuk mengabadikan kalian, terimakasih atas semuanya)