Mohon tunggu...
Dian Satriani
Dian Satriani Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu komunikasi UIN Sunan Kalijaga, NIM 20107030121

Jadilah Galak Dan Pantang Menyerah, Karena Tidak ada kesuksesan tanpa penderitaan. sesering apapun kamu disakiti dan di kecewakan jadi Orang Baik Adalah Kewajiban. Tetaplah Berpetualang.

Selanjutnya

Tutup

Love

Bersenang senanglah karena hari ini akan kita rindukan

3 Agustus 2025   22:56 Diperbarui: 3 Agustus 2025   22:56 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : (Dokumen Pribadi)

Semua bermula dari sebuah ketidaksengajaan---sekumpulan lelaki dari Depok yang datang ke Jogja untuk liburan. Saat itu, salah satu sahabat dekat saya memberi kabar bahwa ia sudah berada di Gunung Kidul, bermain di pantai. Ia mengajak saya untuk menyusul, bersama beberapa teman lain yang masih berada di kawasan Prambanan.

Dari pusat kota Jogja, kami berempat pun memutuskan untuk menuju Gunung Kidul, menyusul empat teman kami yang sudah lebih dulu tiba di sana. Perjalanan kami bukan sekadar kunjungan---sejak awal kami memang berniat menginap di rumah keluarga Rio, tepatnya di kediaman si Mbok dan si Bapak.

Senja itu, kami hampir tersesat. Niat melihat matahari terbenam harus tergantikan oleh waktu Maghrib yang datang lebih dulu. Namun tak lama, kami berhasil menemukan rumah yang dituju---hangat, sederhana, dan penuh sambutan. Di sanalah kami disambut oleh si Mbok dan keempat teman kami yang lain.

Malam itu menjadi lebih dari sekadar pertemuan. Kami saling memperkenalkan diri, bertukar cerita, dan perlahan mulai akrab. Suasana yang tumbuh begitu alami itu membangkitkan kerinduan dalam diri saya---akan rumah di Sumatera, akan suara tawa keluarga dan riuh candaan teman-teman lama. Kehangatan makan malam, perkenalan yang tulus, dan sambutan warga desa membuat saya merasa pulang, meski sedang jauh dari rumah.

Setelah makan malam yang menghangatkan jiwa dan menenangkan rindu, kami menyusun rencana untuk menjelajahi beberapa pantai keesokan paginya. Kami para perempuan sepakat untuk membangunkan para lelaki jam 3 subuh---bahkan sambil bergurau, kami mengancam akan menginjak leher mereka jika tak bangun, gaya khas perempuan Sumatera. Dan benar saja, mereka baru terbangun setengah jam kemudian setelah berbagai upaya dramatis.

Setelah persiapan selesai pukul 4 pagi, kami langsung menuju Pantai Kosakora. Di sana kami mendaki bukit untuk melihat matahari terbit. Tapi sebelum itu, kami mampir dulu ke warung kecil di bawah bukit untuk mengisi perut. Niatnya ingin makan nasi goreng, tapi ternyata tidak ada nasi. Akhirnya, mie instan pun jadi penyelamat, meski keinginan makan nasi dan mie sekaligus harus dipendam.

Mendaki bukit Kosakora dengan kondisi mengantuk dan badan kurang fit membuat saya hampir menyerah. Namun, salah satu kenalan baru saya menggenggam tangan saya dan menemani hingga ke puncak. Sesampainya di atas, saya sempat merasa mual dan ingin muntah, tapi tidak bisa. Ia pun membantu saya dikerokin sampai merah, dan untungnya saya membawa baju ganti. Setelah berganti pakaian, saya merasa lebih baik.

Barulah saya bisa benar-benar menikmati indahnya ciptaan Tuhan dari ketinggian, bersama teman-teman. Kami berswafoto, merekam momen, dan mengabadikannya di media sosial---bukan untuk pamer, tapi sebagai bukti nyata bahwa kami pernah menikmati masa muda yang tak bisa diulang dua kali.

Sumber : (Dokumen Pribadi)
Sumber : (Dokumen Pribadi)
Sekitar pukul 9 pagi kami turun dan melanjutkan perjalanan ke Pantai Ngobaran. Tapi karena terlalu ramai dan banyak pengunjung memakai pakaian adat Bali, kami tak jadi berfoto. Kami pun beralih ke pantai seberangnya---saya lupa namanya. Di sana, kami menggelar tikar yang sudah kami sewa sejak pagi. Saya langsung tiduran, membiarkan tubuh bersandar pada tikar tipis yang terasa seperti ranjang empuk setelah lelah berjalan. Angin laut yang sejuk dan suara ombak membuat saya benar-benar rileks. Tak lama setelah makan, teman-teman saya ikut merebahkan diri. Kami diam dalam hening yang menyenangkan---semacam keintiman tanpa kata yang hanya bisa lahir dari rasa nyaman.
Kami menghabiskan waktu di sana sampai sekitar pukul setengah satu siang, lalu melanjutkan perjalanan ke Pantai Kesirat. Meski ramai oleh wisatawan, kami tetap bermain air dan pasir meskipun panas matahari Jogja menyengat. Kami punya candaan khas: "Orang berkulit tan lebih disukai bule," sebuah lelucon untuk menenangkan diri di tengah kulit yang mulai menggelap.

Setelah puas bermain air, kami langsung pulang ke rumah si Mbok tanpa sempat membilas pakaian. Setibanya di rumah, kami mandi bergantian dan kembali disuguhi makanan rumahan yang membuat kami semua rindu---akan kampung halaman, keluarga, dan rasa aman yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Sumber (Dokumen Pribadi)
Sumber (Dokumen Pribadi)
Setelah makan dan menikmati hidangan dari Mbok, kami melakukan salat berjamaah, lalu bersiap pamit kembali ke kota Jogja. Saat itulah deraian air mata tak terbendungkan. Saat memeluk Mbok, saat pipi kami dicium olehnya---semuanya terasa pilu. Kami seolah tak ingin pergi, tak ingin berpisah, ingin tetap tinggal lebih lama di sana. Apalagi ketika Bapak berdiri dan mendoakan kami agar bisa kembali ke rumah ini suatu hari nanti---hati kami terenyuh. Ada rasa dicintai, dihargai, dan diharapkan yang begitu tulus dari mereka, membuat langkah kami terasa berat untuk melangkah pulang.
Kami juga berpamitan kepada Mbak dan Mas dari orang tua Dek Bian, yang sebelumnya sudah banyak berbincang dengan kami dan menyambut kami dengan hangat dan ceria. Perpisahan itu membawa perasaan campur aduk---penuh syukur, tapi juga kehilangan.
Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan ke Malioboro untuk membeli oleh-oleh dan berswafoto di Titik Nol Kilometer. Di sana, kami kembali menyusun rundown untuk perjalanan selanjutnya. Kota Jogja yang cantik menemani kami hingga tiba kembali di kosan Perambanan. Kami pun bersih-bersih dan beristirahat.
Sumber (Dokumen Pribadi)
Sumber (Dokumen Pribadi)
Esok harinya, teman-teman yang sedang magang kembali melanjutkan tugas mereka. Sore itu, kami kembali berkumpul, kali ini menuju Bukit Bintang. Di sana kami menghabiskan waktu hingga subuh, berbincang tentang politik, agama, kisah horor, dan segala hal yang membawa kami saling mengenal lebih dalam. Hingga pukul setengah empat pagi, kami pulang. Dan keesokan siangnya, di hari keempat, kami memutuskan untuk berpisah.
Mereka melanjutkan perjalanan ke Bantul dan Imogiri tanpa saya, lalu pulang ke Bandung, Depok, dan Tangerang. Semuanya terasa begitu cepat, dan begitu menggetarkan hati. Saya yang tinggal sendiri di Jogja, harus kembali menelan sunyi. Perjalanan pulang mereka diiringi tangis yang terpendam---sama seperti saya, yang merasa sepotong jiwa ikut pergi bersama mereka. Pelukan perpisahan itu terasa seperti mengoyak hati. Rasanya hancur, karena selama beberapa hari terakhir, mereka membuat saya merasa hidup kembali. Saya ingin ikut mereka, tapi masih banyak yang belum selesai di sini.
Sumber : Dokumen Pribadi
Sumber : Dokumen Pribadi
Namun kehadiran mereka, meski hanya sebentar, telah menyalakan kembali nyala yang sempat padam. Jiwa yang lama saya kurung perlahan kembali bangkit. Dan kini, setelah mereka pergi, yang tertinggal hanyalah rindu---rindu pada tawa mereka, candaan mereka, dan semua kebersamaan yang membuat saya merasa dicintai, dan tidak sendirian.

(Aku membuat ini untuk mengabadikan kalian, terimakasih atas semuanya)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun