Mohon tunggu...
Dian Onasis
Dian Onasis Mohon Tunggu... Iruta Penulis -

Dian mulai belajar ngeblog tahun 2003. Sekarang menikmati passionnya di dunia menulis buku, terutama novel anak-anak. Sejak tahun 2008, telah menjadi kontributor untuk lebih dari 30 antologi, dan menghasilkan 7 novel anak.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

[FFA] Sabut Kelapa Ajaib

20 Oktober 2013   21:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:15 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Dian Onasis

(314)

Langit sore begitu gelap. Geo memandang langit. Raut wajahnya terlihat khawatir sekaligus kesal.

“Duh, sepertinya akan hujan. Langit begitu hitam. Jika sore ini, badai yang datang, bisa-bisa, aku terlambat menyelesaikan tugas ini,” gerutu anak laki-laki berambut ikal tersebut. Usianya belum 10 tahun. Kulitnya berwarna gelap, akibat cuaca di sekitar pantai, tempat tinggalnya. Namun tubuhnya termasuk tinggi dibandingkan anak seusianya.

Geo harus membantu kedua orang tuanya, setiap hari. Ayah Geo hanya seorang nelayan biasa. Sementara ibu serta kakak perempuannya,  harus membantu ayah menjual ikan hasil tangkapan ke pasar.

Agar pengeluaran keluarga tak bertambah, maka mereka menggunakan sabut kelapa, sebagai ganti kayu bakar untuk memasak. Sabut itu sekaligus menjadi bahan untuk mengurangi rasa dingin di malam hari. Membeli kayu bakar tentu tak mungkin, karena mahal. Sedangkan, mencarinya juga sulit. Yang paling mudah adalah mengumpulkan sabut kepala. Semua itu didapat dari kelapa-kelapa kering di sekitar rumah, dan desa tempat Geo sekeluarga tinggal.

Nah, tugas Geo adalah mengumpulkan sabut kelapa tersebut. Tugas itu sebetulnya mudah. Ia hanya perlu mengumpulkan kelapa-kelapa kering yang berjatuhan di tepi pantai dan di lingkungan sekitar. Kawasan rumahnya memang penuh dengan pohon kelapa.

Tapi, sebetulnya, Geo tak menyukai pekerjaan itu. Karena harus dilakukan setelah pulang sekolah, terkadang ia sudah capek, karena jarak sekolahnya jauh. Akibatnya ia mudah mengantuk. Namun,  Geo adalah anak yang tahu diri. Dia harus ikut membantu keluarga, sekecil apa pun bantuannya itu.

Tangan Geo sedang mengambil satu kelapa kering di dekat kakinya, ketika, tiba-tiba, air dari langit, mulai membasahi tubuhnya. Yang ditakutkan Geo jadi kenyataan. Hujan turun dengan derasnya.

“Aduh…., aku harus mencari tempat berteduh, nih!” kata Geo sambil berlari ke arah sebuah rumah tua. Sepertinya rumah itu kosong. Geo masuk, sambil membawa sekarung sabut kelapa. Hujan makin menderas, Geo akhirnya tertahan cukup lama di dalam rumah tua itu.

“Ugh, dingin sekali di sini,” keluh Geo sambil bersedekap, memeluk tubuh. Ia berusaha mencari kehangatan.           “Mana gelap lagi,” gerutunya. Matanya berusaha menyesuaikan dengan kegelapan.

Geo memilih duduk di salah satu pojok rumah. Hidungnya mencium aroma kayu tua mengingatkan dia pada bau sabut kelapa tua. Mungkin bahan utama rumah ini, dari batang pohon kelapa, pikir Geo.

“Kriuk…kriuk…,” Terdengar perutnya berbunyi. Geo mengelus perut. Geo baru ingat, dia belum makan dari siang. Selama ini, Geo memang harus memasak lauk sendiri, sementara nasi sudah dimasak oleh kakak. Itu semua, karena ibu baru pulang dari pasar di sore hari. Entah mengapa, siang tadi Geo malas masak dan makan.

“Aduh, beginilah, akibat tak mau patuh sama nasehat ibu. Coba tadi aku langsung masak telur atau goreng ikan asin, pasti sekarang perutku tak bernyanyi seperti ini,” sesal Geo.

Sementara bunyi angin kencang bagaikan suara musik yang menyeramkan. Hujan badai di luar seperti suara raksasa mengamuk. Geo makin tak yakin dapat pulang dalam waktu dekat.

“Mudah-mudahan, ayah dan ibu mencariku. Atau semoga badainya tak sampai larut malam. Sehingga aku masih berani untuk pulang,” doa Geo.

Untuk mengalahkan rasa dingin, Geo memilih duduk dalam posisi merapatkan dengkulnya ke dagu. Tubuhnya membulat seperti bola. Tapi, tetap saja ia menggigil. Suara angin di luar terus menderu-deru, mencekam hati.

“Heran, badai jarang datang di bulan-bulan seperti ini? Entah mengapa, kali ini badai datang di saat aku belum selesai mencari sabut kelapa,” keluh Geo. Ia tak tahu jawabannya. Pikirannya beralih mencari cara agar tubuhnya tak mengigil.

“Ah, iya! Sabut kelapa….!” Geo segera bangkit dari duduk, dan mengambil sabut kelapa dari karung. Ia merogoh kantong celananya, mencari pematik api yang selalu dibawanya. Pematik api atau korek besi itu adalah hadiah dari ayahnya, ketika ia naik kelas beberapa waktu lalu. Kata ayah, meski pematik api itu sudah tua, dan mungkin sudah rusak, tapi ada gambar kapal layar yang cantik,  di badan pematik api.

“Ah, aku lupa. Pematik api ini sudah rusak,” keluh Geo sedih. Ia memandang pematik tersebut, sambil tangannya menjetik-jetikkan benda berbentuk segi empat itu. Gambar kapal layar digrafir detail di bagian besinya, sementara bagian bawahnya terbuat dari kayu jati. Mungkin, kayu jati diletakkan di bagian bawah, supaya pemegangnya tak kepanasan, pikir Geo.

“Ceeesss!” tiba-tiba pematik api itu hidup. Api kecil berwarna merah kebiruan menari di depan wajah Geo. Mulut Geo menganga, matanya membelalak, tapi tangannya masih memegang kuat pematik tersebut.

“Hei, kok menyala?” Geo memandang api biru dengan wajah bingung. Meski tak mengerti penyebab pematik tua itu menyala, Geo buru-buru mengambil sabut kelapa dari karung, dan membakarnya. Ia khawatir apinya keburu mati.

Segera sabut kelapa itu terbakar. Cahanyanya langsung menerangi ruangan, serta memberi kehangatan. Geo menghembuskan nafas lega. Ia segera bergeser, duduk di dekat sabut kelapa yang dibakar. Tahu-tahu kejutan berikutnya muncul!. Tiba-tiba dari asap sabut kelapa itu tampak gambar-gambar seperti sebuah film.

“Eh, apa ini?” Geo meringsut mundur karena kaget. Matanya membulat, memandang potongan gambar yang muncul di antara asap yang berasal dari sabut kelapa.

“Ah, bukankah itu gambar ayah, ibu dan kakakku? Oh, mereka juga terjebak di rumah, tak bisa keluar mencariku!” seru Geo memperhatikan gambar di antara asap. Tak lama, gambar itu mulai menghilang, ternyata asapnya berkurang, dan api dari sabut kelapa itu nyaris mati. Geo segera mengambil sabut kelapa lainnya, dan membakarnya dari sisa sabut kelapa yang pertama. Terus menerus seperti itu.

Dan setiap kali sabut kelapa dibakar, muncul beragam gambar yang membuat Geo takjub dan tak habis pikir. Sekarang yang muncul adalah gambar pembuatan sabut kelapa menjadi beraneka benda.

“Hemmm, apa ini? Serat sabut kelapa?” Geo kebingungan, melihat gambar seseorang mengubah sabut kelapa menjadi serat sabut kelapa. “Eh, ini kok bisa jadi serbuk?” Geo bicara sendiri dan semakin ingin tahu.

Gambar yang muncul selang seling di antara asap dan bara kecil, memberikan pengetahuan baru bagi Geo. Ada gambar tentang proses sabut kelapa menjadi serbuk dan serat.

“Astaga, ternyata sabut kelapa, tidak saja menjadi pengganti kayu bakar, tapi bisa menjadi pot tanaman, selimut kelapa, bahkan matras tempat tidur?” Mata Geo makin membelalak.  “Wow!, sabut ternyata bisa menjadi serbuk pengganti tanah untuk menanam tanaman?” seru Geo.

Mulutnya dari tadi menganga. Beruntung tak ada lalat di rumah tua tersebut. Kalau ada, pasti dikiranya itu gua kecil yang bisa menjadi tempatnya berisitrahat. Geo terus menerus membakar sabut kelapa, hingga sabut terakhir.

Jantung Geo berdebar tak menentu. Ia senang bukan main, karena mendapatkan begitu banyak pengetahuan. Semua itu muncul dari asap sabut kelapa yang dibakarnya. Apakah ini sabut kelapa ajaib? Ataukah pematik api ini yang ajaib? Geo menggeleng-geleng, mencoba meyakini bahwa ia tidak mimpi dan tidak juga tertidur.

“Ouch!” ia mencubit lengannya sendiri. Terasa sakit.

“Aku tidak mimpi, semua ini adalah pengetahuan dari sabut kelapa ajaib ini!” serunya girang. Geo tak sabar untuk berlari pulang dan menemui ayah ibu serta kakaknya. Ia ingin  menceritakan pengalamannya tersebut. Ia melirik ke jendela rumah, berharap badai berhenti.

“Hei! Ternyata badainya sudah berhenti!” teriaknya. Bersamaan dengan itu, sabut kelapa terakhir yang dibakar pun mati. Geo memperhatikan semua sabut kelapa yang telah habis dibakar. Meski ia tahu, ayahnya mungkin akan marah karena sabut kelapa yang dikumpulkannya sudah habis terbakar, tapi ia yakin, alasan yang diceritakannya kelak, akan menyurutkan kemarahan ayah.

Geo tak yakin, reaksi yang akan muncul dari orang tua dan kakaknya, tentang pengetahuan yang didapatnya. Namun, Geo tetap berlari dengan penuh semangat. Ia menembus gelap malam dan mengalahkan rasa takutnya, untuk segera pulang.

Geo sangat antusias. Ia yakin telah mendapatkan jawaban untuk bisa meningkatkan pendapatan keluarganya. Geo yakin, ayahnya kelak bisa libur sehari dalam seminggu. Ibunya pun akan sempat memasak masakan kesukaannya. Dan tentu saja, ia dan kakaknya dapat bersekolah setinggi mungkin.

Semuanya itu akan terjadi, berkat sabut kelapa. Geo bersyukur atas pengetahuan dari sabut kelapa ajaib.

***

NB : Untuk membaca karya peserta lain, silahkan menuju akun Fiksiana Community

Silahkan juga, bergabung di Group FB Fiksiana Community gambar pinjem dari sini

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun