Tentu saja, cinta yang terjalin antara wanita dengan ketergantungan pada perilaku sindrom fortunata ini dengan pasangan selingkuhnya bukanlah cinta yang sehat.Â
Meskipun ada dorongan yang begitu kuat dalam diri si wanita untuk menjalin hubungan perselingkuhan tersebut dalam jangka panjang.Â
Hal ini terjadi karena adanya obsesi dari para penyintas sindrom fortunata. Obsesi merupakan pikiran yang tidak kita inginkan, namun ada terus-menerus dalam kesadaran kita. Meskipun kita tidak menyukai pikiran tersebut, namun kita tidak dapat menghilangkannya.Â
Selain hal tersebut, biasanya wanita dengan ketergantungan jenis ini melakukan perselingkuhan hanya untuk menunjukkan pada dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya bahwa ia memiliki "kemampuan".
Mari kita ambil contoh yang paling mudah, Lydia dalam serial "Layangan Putus" atau Nadezhda dalam film "Aruna dan Lidahnya". Dalam salah satu scene ceritanya, baik Lydia maupun Nadezhda sama-sama menginginkan adanya "tantangan" dalam setiap hubungan asmara yang mereka jalin.Â
Pada beberapa kasus, wanita dengan sindrom fortunata merasa sangat tersiksa. Secara mental mereka merasa sangat merasa terbeban.Â
Lha sudah tahu si laki-laki adalah suami orang lalu mengapa nekat melanjutkan hubungan? Mengapa tidak memilih yang single aja sih?Â
Sekali lagi saya di sini tidak akan berusaha menjatuhkan justifikasi apapun pada wanita dengan sindrom fortunata. Saya hanya ingin mencoba menguraikan fenomena yang sejak zaman purba masih saja menjadi penyakit sosial.Â
Selain karena rendahnya self esteem yang dalam dirinya, wanita dengan sindrom fortunata ini mempunyai kecenderungan membawa luka di masa lalu.Â
Adanya pengabaian sang Ayah pada saat proses pengasuhan, membuat seorang anak terluka. Nah, salah satunya, bagi beberapa anak, pengabaian sosok Ayah ini akan membuat mereka berpikir bahwa ibu adalah saingan bagi mereka.Â