Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Perempuan Pertiwi di Pundak Birokrasi, Mungkinkah?

17 Maret 2021   18:58 Diperbarui: 18 Maret 2021   07:44 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: kesenjangan gender | via liputan6.com

Mari kembali ke negeri sendiri. Penghargaan prestasi kaum perempuan di jajaran birokrasi yang masih belum terakomodasi dengan baik, menyebabkan wanita masih harus berjoeank dalam kubang hegemoni maskulinitas di ruang birokrasi.

Mungkin masih hangat pula dalam ingatan kita betapa riuhnya kontroversi UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, menyoal jatah keterwakilan perempuan dalam dimensi panggung politik sebesar 30% guna memenuhi syarat konsensus sahihnya parpol sebagai sebuah badan hukum.

Adanya hegemoni maskulinitas serta kurangnya ketersediaan ruang gerak perempuan di jalur birokrasi didapuk menjadi faktor utama penyebab tingkat toleransi yang minim antar perempuan di jalur birokrasi pemerintahan, sehingga jamak terjadi saling sikut untuk bersaing mengisi peluang jabatan.

Alih-alih memberi payung yang meneduhkan perjalanan kaum hawa, Baleg lebih memilih rewel meributkan memasukkan RUU Ketahanan Keluarga -yang bias kesetaraan gender- pada Prolegnas 2021, yang pun pada akhirnya RUU tersebut kandas menjadi prioritas Prolegnas tahun ini. 

Sementara itu, kebutuhan perlindungan hak kaum marjinal yang semakin mendesak sebagaimana dirumuskan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih harus mengantre di deretan yang hampir tanpa limit.

Selain itu, terjadinya pelecehan seksual baik verbal maupun non verbal baik tindakan misogini dan atau ungkapan seksis oleh atasan laki-laki, menuai hasil traumatik di kalangan perempuan, yang kemudian jengah untuk mengais posisi pemimpin birokrasi.

Seperti dilaporkan dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021, dimana fenomena hostile work environment, yaitu perilaku yang menciptakan lingkungan kerja yang bermusuhan, mengintimidasi atau kasar, terkait dengan perilaku seksual yang mengganggu karyawan untuk bekerja, ternyata memberi sumbangsih besar bagi terjegalnya upaya kaum wanita mengejawantahkan haknya dalam ruang kerja birokrasi.

Glass ceiling effect seakan bukan lagi menjadi the invisible barrier bagi politikus wanita yang ingin menunjukkan warna karyanya di atas angkasa negeri Indonesia. 

Segala macam manifestasi glass ceiling begitu nyata membentuk; memupuk pola pikir wanita hanya sebagai makhluk inferior di bawah kuasa maskulinitas pria. 

Seperti halnya, stereotip yang ditempelkan pada "dahi" wanita sebagai pribadi yang lebih banyak menggunakan emosi daripada logika, lemah, tidak berdaya, tidak mempunyai ketangguhan layaknya pria yang perkasa, semakin lama semakin menanamkan ide pada diri wanita, bahwa ia hanyalah makhluk emosional. 

For your information, pada dasarnya, kita sebagai manusia -tanpa membedakan jenis kelamin- adalah makhluk emosional yang berusaha memakai rasionalitas kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun