Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lurik

3 April 2020   10:10 Diperbarui: 3 April 2020   10:23 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kain lurik (sumber: Winnetnews.com)

Hermawan menarik nafas dalam, dan membuangnya kembali. "Sudah kau pikirkan lagi, Dhi?"

"Mas...aku putuskan untuk kita berhenti di sini saja. Nyuwun ngapunten, mas. Saya punya mimpi yang ingin saya wujudkan. Saya butuh seseorang yang mau dengan ikhlas membantu saya mewujudkannya, bukan meniadakannya,"
Hermawan menatap Ragil yang kembali menundukkan wajah dan menata kain-kain lurik yang masih ada di ruangan itu.

"Nak Her, sebaiknya Nak Her segera pulang, saya titip salam, buat Mbakyu Retna dan Kangmas Wartaseno di Surabaya," suara berat terdengar tegas muncul di balik pintu kamar di sisi selatan Pendopo.

"Rama," Ragil terkejut, tak mengira Rama nya yang selama ini diam tak pernah ikut campur urusan antara dia dan Hermawan tiba-tiba datang dan duduk diantara mereka berdua.

Hermawan pun segera menyadari kehadirannya tak lagi diinginkan di ruangan itu. Dengan kemaraha yang tersimpan di ubun-ubunnya, ia berkata, "Sudah cukup semua, Dhi. Aku sudah terlalu lama menunggumu. Ini sudah cukup,"segera Hermawan meninggalkan rumah joglo itu bersama mobilnya yang terpacu kencang.

"Mas Her...." panggil Ragil pelan. Ingin hatinya berlari meminta Hermawan kembali. 


"Ragil,"cegah sang Rama. "Rama sudah tahu semua, anakku. Sudahlah. Kau anakku. Kau adalah hakku. Kau putriku. Rama tak akan membiarkanmu menikah dengan seseorang yang selalu membuatmu menangis."

"Bagaimana Rama tahu?"

"Rama selama ini diam, bukan berarti Rama acuh. Rama hanya tak mau mencampuri urusanmu dengan Hermawan. Tapi hari ini kau membuat keputusan. Dan Ramamu ini siap mendukungmu, putriku," Pak Menggung, begitulah orang-orang biasa memanggilnya, duduk di kursi kebanggaannya. 

Ragil menunduk menangis, di sebuah kursi yang lebih pendek dari Ramanya. Segelas teh hangat dari Mbok Nah menelusup masuk ke dalam organ tubuh Ragil. Sedikit menenangkan pikirannya.

"Ramamu ini tak melarangmu menikah. Kau sudah cukup umur. Tapi Rama tak mau punya pikiran seperti Kangmas Tjokrokusumo, yang memang sejalan dengan istrinya, Bu Dhe Tantrimu itu. Anak kok dipaksa nikah. Ya, tapi memang harus begitu, suami istri harus satu pemikiran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun