Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Relasi Tanpa Komunikasi adalah Basi

29 Februari 2020   15:15 Diperbarui: 4 Maret 2020   01:34 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pixabay.com

Relasi dan komunikasi. Dua hal yang tak mungkin dipisahkan. Membicarakan relasi dalam bentuk apapun, tak mungkin meninggalkan komunikasi. Baik relasi sebagai teman, sahabat, partner kerja, pacar, tunangan, atau dalam kehidupan berumah tangga.

Secara pribadi saya sangat menyukai berelasi. Membincangkannya adalah hal yang sangat menyenangkan, dan membuat saya bersemangat.

Opposite Attract, menarik atau berujung masalah?

Sebuah relasi yang kental dengan keunikan rasa antara dua manusia, dua karakter yang berbeda, dua sisi yang berbeda, dua pribadi dengan kebiasaan berbeda, saling membangun demi terciptanya sebuah kehidupan yang harmonis.

Berbincang mengenai sebuah relasi, maka tidak semua relasi yang dibangun akan selalu berhasil. Adakalanya sebuah relasi gagal tersandung beberapa hambatan.

Ya, sangat menakjubkan bila seringkali saya memperhatikan, seseorang akan jauh lebih tertarik memilih pasangan hidup dengan seseorang yang mempunyai karakter yang berbeda dengan dirinya.

Why? Mengapa? Bagaimana mungkin? Bukankah akan lebih mudah membina relasi dengan seseorang yang mempunyai karakter sama?

Kita adalah makhluk sosial. Salah satu kebutuhan hidup kita selain sandang, pangan, dan papan, adalah kebutuhan untuk menyatakan aktualisasi dan eksistensi diri.

Bayangkan saja jika kita mempunyai pasangan yang memiliki karakter dan kepribadian yang sama dengan kita. Pasti membosankan bukan?

Seorang teman kantor saya, pernah mempunyai pasangan yang maaf kata, pemalas. Sehingga terjadi disfungsional dalam rumah tangganya.

Teman saya juga tak pernah mengeluhkan apa pun pada pasangannya. Ia tipikal pribadi yang memang tidak pernah mengungkapkan kesulitan hidupnya pada orang lain. Dia lebih memilih untuk diam dan membiarkan masalah berlalu tanpa penyelesaian. 

Yang parah, kondisi tersebut ia perlakukan bila ia dan suaminya sedang mempunyai masalah. Semua permasalahan rumah tangga mereka.

"Ya, kalo bisa diselesaikan sendiri, to, miss," ujarnya di satu kesempatan.

"Kalau ada yang ga mampu kita lakukan sendiri?" tanya saya.

"Ya, sudah nrimo saja,"ungkapnya.

Begitulah, bahkan dalam kehidupan rumah tangganya juga seperti demikian. Tanpa nafkah jasmani dari suami pun dia masih tak mau menuntut apa pun. Dia seakan menerima begitu saja apapun perlakuan suaminya yang pengangguran.

Yang mengejutkan, suatu saat teman saya tersebut tiba-tiba memutuskan untuk bercerai dengan alasan telah terjadi KDRT dan hadirnya pihak ketiga.

Berulang kali teman-teman kantor sudah memberikan masukan supaya ada komunikasi antara dia dengan suaminya. Namun ia lebih memilih untuk menumpahkan kepahitan hidupnya dengan bermedsos ria.

Kita salahkan dia? Mungkin secara normatif ya, bisa saja. Akan tetapi, bukankah setiap orang berhak untuk bahagia? Bukankah setiap orang punya standar kebahagiaan yang berbeda-beda? Dan apakah lantas kita dapat memaksakan standar kebahagiaan kita pada mereka yang berbeda dengan kita.

Next....dengan demikian, terbuktikah memilih pasangan berbeda karakter akan lebih menjamin kelanggengan rumah tangga?

Pada pasangan yang berbeda karakter akan lebih banyak menjumpai keunikan cerita tersendiri. Saling membangun adalah hal yang sangat diperlukan.

Mereka akan mencoba saling menemukan apa yang berbeda dari dirinya. Saling berbeda pendapat bukan berarti hancurnya sebuah komunikasi.

Mau mencoba menjalin hubungan dengan yang berbeda karakter? Well, for single only....buat yg jomblo ajah yaaa, ...

Hambatan berkomunikasi dalam rumah tangga
Kendala pertama adalah ketidaksepahaman dari dua pihak untuk menyadari fungsi masing-masing dalam hidup berumah tangga.

Tidak baik manusia hidup hanya seorang diri saja. Maka Tuhan menciptakan orang lain di sekitar kita. Namun kesulitan berkomunikasi ternyata banyak kita jumpai dalam kehidupan berumah tangga.

Posisi seorang suami yang adalah pemimpin dalam keluarga sudah sepantasnya berada dalam posisinya, sedang istri sebagai penolong pun harus tetap berdiri sebagai penolong, bukan pengambil keputusan.

Sebagai contoh, seorang suami bertanya, "Hari ini kita mau makan di luar nih. Mama mo pilih menu apa?"

Sebagai penolong hendaknya istri tidak mengambil alih peran suami, hindari kata, "Terserah," untuk sebuah perbincangan sehat.

Bila demikian lalu bagaimana jawaban yang bijak?

"Ok, ya, di luar kan banyak pilihan, ada bakso, aneka masakan sea food, aneka geprek, ada Chinese food, banyak pilihan. Tapi, kalau misal Papa mau ngajakin Mama makan di bakmi Jowo, Mama bakal tambah sayang sama Papa,"

Nah, bagaimana para wanita bijak?

Kendala kedua adalah keluhan beberapa orang tentang sulitnya mereka mengkomunikasikan apa isi hatinya. 

Dalam sebuah komunitas pekerja saya berkenalan dengan sebuah keluarga. Kami berteman baik. Saya mengenal keluarga ini lebih dari satu tahun. Bukan waktu yang singkat untuk kami saling mengenal satu dengan yg lain.

Suatu ketika sang bapak ditimpa isu perselingkuhan. Sedang setiap hari Bapak ini chatting dengan saya, sang ibu selalu mengajak saya keluar cari udara segar. Ketika mendengar keluhan mereka berdua, saya merasa sebenarnya ada rasa sakit yang sama, yang mereka rasakan saat pertikaian itu terjadi.

Saya berhenti chatting dengan sang bapak dan dengan halus menolak permintaan sang ibu untuk pergi keluar dengan alasan cari udara segar. Kemudian saya sarankan mereka berdua untuk duduk bersama dan mulai berbicara. Mulai mendengarkan apa mau satu dengan yang lain

Pada akhirnya, sebuah pelukan mengakhiri pertikaian tersebut. Tentu saja kami semua senang dengan hal ini.

Saling mendengarkan, dan saling berusaha untuk memahami satu dengan yang lain, serta berusaha untuk menundukkan ego masing-masing. Berusaha untuk kembali membangun cinta di atas sebuah pondasi kepercayaan.

Terlalu ideal? Ya, mungkin. Tapi di antara yang gagal membangun hubungan, di luar sana pun ada pula yang berhasil. Bila kita akan mengambil contoh, bukankah kita akan mengambil yang baik?

Seorang Aristoteles pernah mengatakan "Kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang....maka keunggulan bukanlah suatu perbuatan melainkan hasil dari kebiasaan."

Apakah Anda merasa kesulitan untuk mengkomunikasikan segalanya? Itu masalah yang lazim dimiliki oleh beberapa orang. Namun mengingat komunikasi merupakan hal yang penting, maka mari kita bersama-sama belajar.

Membiasakan komunikasi antar pasangan bisa kita lakukan dengan hanya mengucapkan hal-hal sederhana, seperti sebuah ucapan terimakasih pada pasangan kita.

Terima kasih telah menemani belanja, terimakasih telah bekerja keras, terima kasih untuk makan malam, terima kasih telah bersabar untuk bawelnya saya, terima kasih untuk waktu luangnya, terima kasih untuk oleh-olehnya, terima kasih telah merawat anak-anak dengan baik, terima kasih untuk lunchbox yang telah tersaji, terima kasih untuk pelukan hangat yang menyenangkan, wuiiih, masih banyak yang lain.

Atau sekadar mengucapkan selamat pagi, atau selamat malam pada pasangan kita.

Tak mampu mengucapkannya? Jangan takut. Memberikan ciuman di kening istri saat akan berangkat bekerja, atau mengucapkan doa selepas bersalaman dengan suami saat berangkat bekerja adalah contoh komunikasi non verbal yang bisa kita lakukan bagi pasangan kita.

Hal lain yang tak kalah penting dalam suksesi sebuah komunikasi adalah pengaruh instrumen komunikasi.

Mari kembali ke masalah komunikasi kita. Problematika masyarakat 4.0 sekarang ini adalah seputar individualisme. Rasa ingin menikmati waktu dengan diri sendiri menjadi semakin tinggi. Tuntutan kebersamaan dan berbagi sepertinya menjadi hal yang luar biasa.

Seorang teman pernah berkelakar pada saya, "Ya, itulah kita hidup di masa serba online. Komunikasi lewat chat, sangat rentan dengan peliknya kesalahpahaman antar-komunikan. Padahal jika bertemu biasa, face to face, ya biasa ga ada masalah...."

Dan masih banyak ragam komunikasi khususnya pada pasangan suami istri menjadi terhambat, bahkan berakhir dengan pertengkaran. Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapinya?

Kemajuan teknologi dan kecanggihan alat komunikasi sebenarnya bukan hanya hadir sebagai faktor penghambat, namun juga instrumen yang dapat kita gunakan untuk membangun komunikasi dengan pasangan kita. 

Akan tetapi pastikan dahulu, nomor yang kita kirimi pesan sayang adalah pasangan kita, dan bukan pria atau wanita lain....hehehe...bisa salah kejadian tuuuh ....

Seorang teman kantor saya yang lain mempunyai pengalaman menarik dengan pasangannya, yaitu bagaimana cara mereka saling menjalin komunikasi dengan baik. Ia dan suaminya seringkali mengandalkan gawai untuk bertukar kabar. 

Sementara sang suami bekerja di luar kota (terkadang harus pergi selama berhari-hari) untuk tuntutan pekerjaan, maka teman saya ini yang terkadang menelefon untuk menanyakan apakah sudah sarapan atau belum, apa flu yang diderita sang suami sudah mereda, dan hal-hal positif lainnya. 

Begitu pun sang suami yang selalu mengunggah status kemesraan mereka berdua dalam status akun medsosnya.

Pengantin mudakah mereka? Bukan. Usia pernikahan mereka sudah lebih dari lima tahun. Memang belum begitu lama, belum mencapai puluhan tahun. Namun selama masa pernikahan tersebut apakah tak ada pertikaian dan perbedaan pendapat diantara mereka? Sering.

"Lalu bagaimana mereka mau meredam pertikaian yang terkadang terasa hebat?" tanya saya di sela makan siangnya.

"Salah seorang dari kami selalu mengalah. Tak perlu memperdebatkan hal yang sederhana terlalu panjang. Itu tak penting," ujarnya sambil menikmati makan siangnya.

"Kalau saling marah? Kalian ga saling marah donk, iya kan?" saya masih penasaran dengan pengelolaan komunikasi mereka.

"Semua orang kan pernah beda pendapat, marahan, kami juga pernah. Selesaikan dulu marahnya, berdamai, trus baru tidur," jawabnya singkat.

Hmmm, benar juga. Bukankah marah itu kegilaan sejenak? Marah tak hanya selesai dengan tidur.

Bahkan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim psikolog dari Iowa University, Amerika Serikat, yang mana tertuang dalam Journal of Research and Personality menyatakan bahwa banyak orang yang belum menyadari jika rasa stress akibat rasa marah dapat mengakibatkan meningkatnya aktivitas organ kardiovaskular (jantung). 

Sehingga sangat disarankan untuk tidak memendam marah, apalagi terakumulasi menjadi amarah lalu dibawa tidur. Karena ini dapat merusak mental seseorang.

Well, teman-teman, saya hanya berharap, tulisan ini mampu membuat kita bersama-sama bersedia mengosongkan gelas kita untuk belajar diisi dengan melatih diri untuk memahami betapa pentingnya komunikasi dalam sebuah relasi.

Tulisan ini akan saya tutup dengan sebuah ilustrasi sebagai kontemplasi kita masing-masing.

Apabila Anda bekerja di sebuah perusahaan, entah itu milik anda sendiri atau milik orang lain, dan Anda tahu bahwa perusahaan tersebut akan bangkrut apa yang akan Anda lakukan?

Bukankah Anda akan berusaha keras untuk mempertahankannya? Bertahan. Dan berusaha sedapat-dapatnya agar perusahaan tersebut tetap berjalan sebagaimana mestinya, bukan begitu?

Lalu bagaimana dengan rumah tangga Anda? Apabila Anda berusaha dengan sebegitu rupa untuk mempertahankannya, lalu bagaimana dengan rumah tangga Anda? So, the answer is right in your own hand...

Oh yha ada satu request dari salah seorang teman, sahabat, sparing partner (hehehe...mas tengkyu buat masukannya), dan juga sharing partner saya....
"The most important thing in communication is hearing what isn't said." ( Peter F. Drucker)

*Solo,....selamat mengelola komunikasi, dan saling membangun... Sampai jumpa dengan tulisan saya yang lainnya...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun