Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ia Raja Pesisir, Aku Raja Pedalaman [Part 8: First Sight]

23 Oktober 2019   14:31 Diperbarui: 23 Oktober 2019   14:39 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Kumasuki lagi ruang baca Tuan Dunberg. Masih sama. Tiba di depan dinding portal tempat aku dan Tuan Dunberg dulu melewatinya. 

Kulihat Thea menggigit sepotong roti di tangannya. Entah ia dapatkan dari mana. Kubiarkan saja ia menikmati roti panggang itu.

"Aku tahu portal kita di sini, tapi ... Bagaimana cara masuknya? Aku selalu lupa..." Thea mencoba meraba dinding yang rata tempat aku dan Tuang Dunberg dulu menerobos dimensi ruang.

"Thea, aku pikir, kita harus pergi ke tempat Boone dan....Araye," sahutku

"Arye, Tuanku,"

"Ya...entahlah itu. Bukankah kau dan pedang besarmu itu mampu membuat portal?"

"Hmm, tapi aku lupa, mantranya, Tuanku,"

"Thea ..."sahutku dengan nada yang penuh kejengkelan.

"Aku... Tidak suka pelajaran Dunberg tua itu. Dia selalu jeli. Kemanapun aku pergi ia pasti tahu,"

"Ya, Tuan Dunberg...Katakan ke mana kita harus pergi," sahutku bersemangat.

"Ke ruangan Tuan Dunberg,"

"Tapi Thea ... Kalau ketahuan Tuan Dunberg, aku pasti tak diperbolehkan pergi bersamamu. Kemana-mana ia selalu saja tahu. Ia seperti punya mata yang menempel di setiap ruangan,"

"Aku harus tahu sesuatu,"

"Dan...apakah itu, Thea?"

"Pintu masuk kerajaan Saverian," ungkap Thea 

"Tapi aku tak mengerti apa-apa tentang kerajaan itu, Thea,"

"Tuanku," Thea mendekatiku dengan mata yang makin menyipit dan penuh selidik. "Tuanku, apa yang membuat Tuanku tiba-tiba bersemangat dalam pengejaran ini? Bukankah perintah Raja Redrix, aku harus membawamu pulang ke sekolah Tuan Dunberg? Tugas Tuanku telah selesai."

"Thea tapi...tapi....tapi liontin itu... Aku, itu penting, bukan?"

Thea menyusun senyum langka di sudut bibirnya yang tipis. "Puteri, maafkan hamba, tapi hamba mencium bau keinginan yang lain," tuduh Thea.

Aliran darahku segera berhenti. Thea tahu sesuatu. Tentang aku dan Boone? Oh, gawat. Ini tak mungkin. Aku harus menyembunyikan semua ini. Bagaimana kalau Ayah tahu? Dan ya, tentu saja aku tak mengerti pentingnya liontin itu. Bagiku, bertemu Boone adalah keinginanku.

"Tidak, Thea... Keinginan apa maksudmu? Aku...aku...ayolah apakah kau tak ingin kita kembali? Kita harus cepat kembali, Thea. Bagaimana jika aku bisa membawamu ke sana? Apakah aku boleh ke Saverian bersamamu?" terlintas begitu saja keinginanku untuk menawarkannya pada Thea.

"Tidak secepat itu, Tuanku Puteri," tiba-tiba ada suara seorang lelaki muda di belakang mereka.

"Hentikan langkahmu, Cornicus, jangan dekati dia," sahut Thea sambil menghunus pedangnya.

Lelaki itu berperawakan tegap. Dadanya bidang. Tingginya sekitar tiga meter. Wajahnya sungguh tampan. Sangat tampan. Matanya begitu tajam. Seakan menghanguskan segala sesuatu yang dilihatnya. 

Senyumnya sangat indah. Suaranya berat namun penuh ketegasan. Bibirnya merah. Rambutnya ikal, tak panjang. Oh, tak pernah kulihat seorang pun segagah dia.

"Tuanku Puteri, perkenalkan namaku, Cornicus,"senyumnya kembali mengembang.

"Jauhi Tuan Puteri. Atau sebaiknya sekarang kita bertarung di sini, Tanduk jelek," Thea masih menghunus pedang besarnya yang kini menyalakan sinar putih yang menyilaukan. Dari lengan kirinya mengeluarkan perisai. "Tuan Puteri, pergilah. Cepat lari ke tempatmu semula. Cepat!"

Oh, aku tahu Thea. Tapi lelaki ini....tidak, tidak...aku...tak mungkin pergi. Entahlah sesuatu seperti menarikku pelan, sangat lembut. 

"Jangan kau dekati dia !!" gertak Thea dan dalam sekali gerakan lengan kiri pria itu terkena sabetan pedang Thea.

Tanpa sedikitpun senjata di tangannya, lelaki yang bernama Cornicus itu hanya mengayunkan tangannya, seperti seorang  pemimpin musik klasik mengayunkan tongkatnya. Tubuh Thea terlempar sejauh tiga meter dari tempat ia berdiri semula.

Namun aku berdiri bergeming. Kulihat matanya yang biru. Begitu dalam. Aku melihat sesuatu. Dari birunya lautan, dari dalamnya samudera raya, keluar berbagai macam makhluk-makhluk mengerikan. 

Bersisik layaknya ikan, bertanduk seperti kambing, mulutnya mengaga seperti macan yang merana kelaparan. Taringnya bak pedang begitu besar. Sangat menakutkan. Mereka, berjajar di cakrawala samudera. Bermunculan di atas air laut yang berombak kecil. 

Langit mendung. Berubah menjadi merah. Langit diatas samudera itu menyala seperti lautan api. Petir menyambar di langit. Entah malam atau siang, waktu seperti tak  ada bedanya.

Lalu aku melihat lagi dalam mata biru itu, seekor naga besar merah menyala ditunggangi oleh sesosok makhluk tinggi besar. Dengan muka yang penuh amarah. dari kepalanya muncul dua tanduk. 

Di punggungnya ada dua sayap besar. Sayap itu seperti sayap malaikat yang kulihat di buku dongeng Thea. Ia mengendarai seekor naga, yang mulutnya mengeluarkan api. Naga itu terbang, berdiri di barisan paling depan semua monster mengerikan itu.

Seperti layaknya perang besar. Pasukan makhluk menakutkan itu berdiri di sepanjang cakrawala laut yang membentang. Dan naga yang ditunggangi makhluk itu makin menyala, seperti api yang tak kunjung padam, terbang melayang-layang.

Namun tak lama kemudian, sayap yang membentang di punggung makhluk bertanduk itu perlahan lepas. Satu per satu terlepas, luruh dari punggung makhluk bertanduk. Lalu ia mengerang keras. Suaranya melengking tinggi membelah angkasa, meniupkan segala awan yang ada di atas samudera.

"Apa yang kau lihat !!!" tubuhku yang erat dalam tangan Cornicus segera dilemparnya. Ia terlihat sangat marah dan terluka. Mata birunya berubah menjadi hitam, lalu menjadi seperti bola api kecil. "Apa yang kau lakukan? Siapa kau, Puteri?" gertaknya lagi.

Thea segera bangkit dan berhadapan dengan Cornicus. Lalu katanya, "Exallibur." Pedang besar Thea segera muncul kembali di tangannya. "Pertarungan kita bukan di sini, Cornicus. Waktunya belum tiba. Sebaiknya kau pergi menjauhinya. Atau pedangku akan membunuhmu saat ini juga."

Cornicus tak menjawab. Ia masih berdiri di tempatnya semula. Tubuhnya mengeluarkan asap. Kemarahan begitu terpancar di dalam dirinya. Kepalan tangannya mengeluarkan nyala api. Tubuhnya semakin banyak mengeluarkan asap, tak lama kemudian wajahnya yang tampan berubah wujud menjadi makhluk mengerikan.

"Puteri, cepat pulang ke tempat Tuan Dunberg. Kau lebih aman di sana," bisik Thea padaku. "Hey, Tanduk jelek, rupanya kau mengakui dirimu. Tapi, pertempuran kita belum tiba saatnya. Jadi mohon maafkan aku," sahut Thea dengan wajah yang sangat sinis.

Kugenggam tangan Thea, kuingat kata-kata Tuan Dunberg, "Razpireti prostora." Kami memasuki portal itu dan dalam sekejap kami tiba kembali di ruangan tempat aku belajar.

"Hhh,...Thea...apa arti semua itu. Apakah kau bisa menjelaskannya padaku?" tanyaku penuh selidik.

"Si Tanduk Tua, Cornicus, bagaimana ia bisa tahu keberadaanmu, Tuanku? Ada yang harus aku ketahui," bisik Thea perlahan.

*Solo, saat kebenaran menyatakan pleidoi di ruang sidang keadilan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun