Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Kado Terindah] Kasih Tak Sampai Sang Letnan Satu

5 Oktober 2019   09:57 Diperbarui: 5 Oktober 2019   10:10 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : pixabay.com

Angin siang ini sangat terasa panas. Panasnya mungkin bisa membakar kulit hingga menjadi kering dan keriput. 

Kipas angin di samping kanan dan kiri ruang kelas XII IPS 1 tak mampu membuat suasana menjadi nyaman. Beberapa siswa bergerombol memperbincangkan acara keluar malam mereka. 

Sedang segerombol yang lain membuat kelas bertambah gaduh dengan keisengan mereka yang sibuk membuat satu konten lucu yang sesegera mungkin mereka unggah di media sosial. 

"Bos, abis ini pelajaran sapa?" tiba-tiba Rafli begitu saja duduk dan menghampiri Redo yang sedari tadi sibuk dengan tugas Seni Budayanya.

"Heh...makanya, jangan asal terus-terusan ngacir aja ke kantin. Yang kayak gini nih...mo jadi anak muda apaan loe?" jawab Redo sambil meneruskan acara menulisnya.

"Ditanyain malah bales kasih kuliah...."

"Sejarah wajib tuh...bentar lagi juga gurunya dateng."jawab Redo. "Hari ini nih, jadwal pemutaran film G30S/PKI. Kata kelas sebelah sih seru."

"Class, are you ready to study with me?" tiba-tiba Pak Rangga memasuki ruang kelas. Sesaat mereka yang ribut kembali ke tempat duduknya masing-masing.

"Hari ini materinya tentang...."

"G30S/PKI , Mister!" teriak Kayla di meja paling depan. Siswi IPS 1 yang memang menonjol dalam pelajaran sejarah.

Senyum menghiasi wajah guru sejarah kala melihat muridnya sangat berantusias, "Yap. Betul sekali. Tapi kali ini sebelum Pak Rangga memutar film nya, Pak Rangga ingin sedikit memberi tambahan. Tentang seorang pemuda yang juga menjadi salah satu korban penembakan pasukan Cakrabirawa."

"Waaah, Pierre Tendean yang ganteng itu ya, Pak?" tanya Timi, siswi kecil mungil berkacamata yang sejak tadi tak sabar dengan pelajaran guru favoritnya ini.

Pak Rangga memang belum lama dipindahkan ke SMA itu. Namun kecerdasan dan daya tariknya untuk mengajar membuat para siswa ingin berjam-jam melewatkan jam pelajarannya. 

"Awan menghitam menggelayuti langkah kaki gadis manis berbaju hitam. Diiringi oleh aubade lagu pengiring jenazah dari seorang muda pengabdi nilai patriotik bangsa.

"Air mata mengalir dari dua bola mata si gadis manis berambut ikal. Matanya yang kemarin berbinar dengan semua rencana yang telah tergelar, hanya menghitung hari. Selangkah lagi, ia menuai harap yang lama telah disimpan dengan pemuda pujaannya.

"Pemuda itu wajahnya memang tampan di atas rata-rata. Prestasi akademisnya pun tak pernah mengecewakan. Sifatnya yang hangat dan peramah memberi nilai tersendiri baginya. 

"Segudang prestasi di Akademi Tehnik Angkatan Darat (ATEKAD) Panorama,  tak lantas membuatnya bangga dan menepuk dada. 

"Dia betul-betul tampan. Apalagi jika ditambah dengan senyumannya yang mengalir seperti air sungai bening yang menyejukkan. Meruntuhkan hati setiap kaum hawa yang pernah mengenalnya. 

"Hari itu di sebuah pertemuan muda-mudi di Medan, sepasang jiwa muda bertemu. Seakan jagad pun bertekuk lutut pada sebuah takdir yang dibentangkan semesta.

"Senyum manis yang tersungging di sudut bibir mungil seorang gadis manis,  meruntuhkan benteng pertahanan hati pria mana pun. Dan benteng hati Pierre pun runtuh tatkala serumpun kata lembut datang dari seorang putri Medan keturunan Jawa ini.

'Pierre, ke Ari sebentar, biar aku perkenalkan mutiara kami, Rukmini,' ujar pemuda yang juga sedari tadi ada bersama-sama berkumpul di situ. Rupa-rupanya, teman-teman Pierre tahu betul sifat Pierre yang juga berstatus sebagai jomblo harapan bangsa itu.

"Bak gayung bersambut, kala uluran tangan seorang Rukmini terulur, maka runtuhlah hati sang pejuang nan patriotik milik Nusantara. 

"Dari sekian banyak anak gadis yang pernah dikenalnya, Rukmini, mempunyai daya tarik tersendiri. Lembut tutur kata dan santun bahasa, serta indahnya senyuman manis yang dimilikinya ternyata menghadirkan sosok gadis idaman yang selama ini Pierre simpan dalam kesadarannya yang paling dalam.

"Berjuta angan, berjuta pesona, berjuta kata dan berjuta mimpi terangkum dalam setiap pertemuan mereka. Hanya dua kali pertemuan. Ya, dua kali serasa begitu luar biasa.

"Hari demi hari lantun sapa terus menjelma dalam sentuhan romansa sang prajurit pilihan negri zamrud khatulistiwa.

'Pierre, dulu, Papa ingin kamu jadi dokter atau insinyur-lah. Tapi kamu pilih sekolah di Akmil. Ya, sudah Papa sama Mami mengalah. Tapi sekarang kamu juga pacaran dengan gadis Medan itu. Apa sudah kamu pikirkan benar-benar, Pierre,' kata Mitze, seorang kakak yang sangat disayangi Pierre.

"Mereka bahkan bagai dua saudara yang telah berpaut dalam darah dan jiwa. Bagi Mitze, adik lelakinya itu adalah sosok yang sangat luar biasa. Cakap, baik hati,  tak banyak bicara, peduli pada sesama.

"Ia ingat saat Papanya dipindahtugaskan ke sebuah desa kecil, di bawah kaki gunung Sumbing, Magelang. Rumah dinas itu memang sangat sederhana. Namun membekaskan arti dan makna yang luar biasa dalam ingatan Mitze.

"Hingga suatu saat pada malam Natal, mereka sekeluarga sedang berdoa. Tiba-tiba  Pierre menyenggolnya. Ia memberi kode, jika lilin yang ada di bawah pohon Natal itu hampir melalap habis isi rumah.

"Namun karena takut pada sang Papa, maka mereka berdua hanya berdiam, berharap doa-doa tersebut segera tuntas. Api mulai membakar pohon Natal mereka.

"Tatkala kata amin mulai terucap, mereka bukan secepatnya menyambar makanan yang tersaji di meja, namun secepat mungkin memadamkan api yang telah menyala hebat.

"Ya, kenangan itu terbersit di ingatan Mitze Faree, satu-satunya sharing partner Pierre. Seperti sekarang ini. Papa yang seorang dokter menganjurkan Pierre untuk  meneruskan profesi ayahnya.

"Pierre hanya tersenyum simpul, katanya, "Ah, jadi dokter iku apa. Dokter iku mung bisa nambani borok."

"Saat itu yang ada dalam pemikiran Mitze, Pierre hanya menganggap profesi dokter bukanlah profesi yang pas. Hanya bisa mengobati orang sakit. 

"Sepucuk surat yang kini telah dalam genggaman Mitze, kembali menimbulkan segurat senyum di sudut bibir wanita muda itu.

"Pierre menuliskan,'Mitz, aku wes ketemu jodhoku. Dongakke wae yo, Mitz, mugo-mugo kelakon'

"31 Juli 1945 hari ini, adalah hari yang telah ditunggu-tunggu dua sejoli yang ingin memadu kasih dalam bahtera rumah tangga. Kali ini Pierre yang sudah berpangkat Letnan Satu, mengawal seorang jenderal besar di bumi Indonesia, tepatnya di Medan. 

"Kesempatan ini tak lagi mampu membendung hasratnya untuk meminang gadis bernama panjang Siti Rukmini, puteri sulung keluarga Chaimin. Puteri keturunan Jawa yang tinggal di Medan. Gadis yang kepadanya hati Pierre telah tertawan," jelas Pak Rangga yang kemudian berhenti sejenak, membenahi beberapa kabel yang ia perlukan untuk pemutaran film di kelas itu.

"Berarti Om Pierre udah nikah dong, Pak. Wah ga seru tuh, " seloroh Tiwi yang sejak awal memperhatikan cerita Pak Rangga tanpa berkedip.

Pak Rangga hanya tersenyum," Okay, I'll tell you the whole story, but promise me you must get A in my class."

"You can keep my words, Sir," tiba-tiba Rafli, si tukang bolos, mengulurkan tangannya, membuat seluruh kelas melongo melihatnya.

"Hebat loe, Gan ...ga nyangka, bahasa Inggrismu....beuh...,"  puji Redo.

"Hhssssh... Googling lhaah,"bisik Rafli pelan.

Uluran tangan Pak Rangga disambut dengan senyum Rafli sambil terucap kata sepakat dari Pak Rangga, "Deal,

"Kay...

"30 September 1965. Siasat telah dibuat, oleh mereka yang sudah dikuasai nafsu laknat. Hanya demi sebuah kata daulat.

"Namun 30 September adalah hari yang seharusnya indah bagi seorang Pierre Tendean. Rencananya untuk memberi hadiah terindah bagi Maminya yang pada tanggal tersebut berulang tahun. 

"Pierre tak kembali ke rumahnya di Semarang, hari itu, ia melihat sebuah rumah indah. Rumah yang ingin ia tempati bersama Rukmini-nya, dua bulan lagi."

"Dua bulan lagi, Pak?" tanya Bayu yang biasanya lebih menyukai praktikum Biologi dari pada pelajaran sejarah yang seringkali membuatnya terlelap dan terbang di alam mimpinya.

"Ya, Pierre telah melamar kekasih hatinya. Mereka sempat LDR selama Pierre masih bertugas menjadi mata-mata dalam menjalankan tugasnya menyamar sebagai turis di Malaysia. Saat itu, Indonesia sedang gencar-gencarnya menjalankan politik Ganyang Malaya," jelas Pak Rangga, yang mulai berbangga dengan harinya.

Tak pernah ia melihat kelas XII IPS 1 seantusias ini. Biasanya para siswa di kelas ini lebih banyak tertidur pada jam pelajarannya. Selain itu, di tengah belajar, ada yang minta ijin ke toilet, dan ternyata pergi nongkrong di kantin sekolah.

Ada juga yang pernah ditemukan tengah flying, saat tertangkap basah oleh guru pengawas karena menenggak 5 pil ekstasi yang ia curi dari lemari obat ayahnya yang berprofesi dokter.

Semua guru sangat jengah dengan kelakuan para siswa IPS 1. Jelas banyak sekali tindakan indisipliner siswa di tengah waktu belajar mereka.

Tapi, hari ini berbeda. Ternyata, kisah Sang Letnan Satu ini membuat mereka tergiur dan penasaran. Sebagai wali kelas, Pak Rangga cukup yakin ini cara yang cukup jitu untuk mengajar mereka. 

"Tapi kan Pierre Tendean jadi korban G30S/PKI, Pak," sela Nino, siswa pemenang debat bahasa Inggris setingkat kota.

"Tepat sekali

"Sebuah sikap patriotik, sebuah sikap ksatria sejati, sebuah sikap loyalitas yang tinggi, sebuah sikap yang kemudian terukir dalam sejarah kita.

"Pada malam itu, Pierre dengan gagah mengaku dirinyalah Sang Jendral Abdul Haris Nasution. Sehingga malam tragis itu adalah malam terakhir bagi seorang Lettu Pierre Tendean."

"Tet...tet...tet..." suara bel tanda istirahat berbunyi mengakhiri kelas Pak Rangga hari itu.

" Class, kita tunda pemutaran videonya ya, I promise you,"Pak Rangga kembali sibuk dengan PC di atas mejanya.

Kembali keributan menghampiri IPS 1. Hingga sebuah lagu terdengar dari seluruh siswa IPS 1.

"Happy birthday Mr. Rangga, happy birthday to you....," suara seluruh siswa XII IPS 1 menggema, bergemuruh di dada seorang Rangga.

"For our beloved Mr. Rangga, let us love you in our simple way. Thank you for beeing our beloved great man. We Will keep all your words in our deepest heart and mind. Happy birthday Mr. Rangga," ujar Rafli sambil membawa kue ulang tahun kecil di tangannya.

Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Pak Rangga. Hanya raut muka haru menahan semua air mata di sela pelukannya bagi Rafli si tukang bolos.

"Thank you, kids... Thank you,"ujarnya pelan 

"You can keep my words, Sir," sekali lagi Rafli mengucap sebuah janji. Untuk dirinya sendiri, dan untuk seseorang yang ia panggil sebagai "GURU".

*Solo, saat sentuhan hati bukan hanya berupa materi, thank you for my beloved "guru" pelenyap kegelapanku

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun