Tamu yang ternyata sekretaris Perdana Menteri Indonesia, Siti Zoebaedah Osman hanya tersenyum simpul.
"Ini, Gusti Putri. Saya hanya sebentar saja. Ada titipan yang harus saya sampaikan kepada Gusti. Seperti biasa, dari Bapak Sutan Sjahrir," jawab Sang sekretaris.
"Tolong sampaikan rasa terima kasih dan hormat saya kepada Bung Kecil. Beliau sudah repot-repot membanjiri saya dengan segala hadiah cantiknya," sahut Sang Putri Nurul.
"Baiklah, kalau begitu, saya pamit dulu, Gusti Putri."
Setelah Siti Zoebaedah Osman pergi, Nurul segera memberikan bungkusan itu kepada Lastri yang sudah berdiri di belakangnya. Sedangkan sepucuk surat dari Bung Kecil mulai dibacanya sambil tersenyum simpul.
"Tulisannya jelek, Lastri," ujar Nurul singkat. Namun ada seulas senyum menyertai kalimat itu. Seakan matanya yang berbinar menyiratkan sesuatu yang bergejolak dalam batin Sang Putri.
Lastri hanya melangkah mengikuti ke mana Sang Putri pergi. Dalam bentangan angannya yang juga bukan gadis kecil lagi, Lastri cukup cerdas untuk memahami isi hati sang majikan.
Seusai pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Yogyakarta saat sebuah sidang para pejabat pemerintahan diadakan, Sang Perdana Menteri itu seringkali mengirimi hadiah dari Jakarta untuk Nurul.
Setahu Lastri, ada jam, sutera, bahkan tas-tas yang sangat bagus dan yang pasti mahal harganya.Â
Sutan Sjahrir belum pernah datang ke istana Mangkunegaran. Hanya saja Nurul pernah bercerita, tentang Sutan Sjahrir. Seringkali mereka hanya bertukar kabar lewat surat. Tak lebih dari itu.
"Besok pagi aku dan Kanda Kanjeng Gusti Mangkunegara diminta datang ke Linggarjati, Lastri. Ibunda dan Mbakyu juga berangkat," demikian Nurul berucap. Bagi Lastri, itu adalah sebuah perintah bahwa ia harus kembali menyiapkan segala keperluan majikannya itu untuk berpergian jauh.Â