Kalimatku akan kuawali dengan kata apa? Tak terpikirkan olehku malam ini aku menetap di dalam anganku sendiri yang tinggal secuil.Â
Berharap dia datang dan membawakanku bunga atau sekotak coklat? Tak akan. Bukan dia. Priaku bukan seromantis itu, ia hanya datang saat aku membutuhkannya.Â
Saat malam aku kedinginan karena hujan deras yang mengguyur seluruh kota tempatku berteduh kini. Aku mencintainya. Sudah itu saja.
Seperti malam ini, entah mengapa aku merasa badanku menggigil. Dingin. Kutelepon dia, kuharap ia kan datang. Tapi tak jua ia kujelang. Ya, biasanya ia datang saat aku membutuhkan.Â
Badanku menggigil. Selimut ini tak membantu meredakan panasku. Dulu, aku tak begini. Sakit tak pernah kurasakan. Sejak kuhidup dalam dunia penuh manusia ini, aku selalu terjatuh sakit.
Kemana ia, manusia yang kusebut priaku. Dulu ia selalu datang, bahkan saat aku tak membutuhkan. Sekarang, aku pun tak kan membutuhkannya.Â
"Naiklah, tinggalkan mimpimu bersama manusia penipu itu. Kenakan sayapmu, dan terbanglah, " demikian pesan teman-temanku dari angkasa biru.
Aku masih bisa mendengarnya. Kadang mereka membisikkannya lewat angin pagi yang bertiup diantara dedaunan di halaman rumahku.
Aku juga tak pernah mengerti mengapa tiba-tiba langkahku membawa tubuh fana ini ke sebuah rumah sakit. Padahal, tak ada keinginanku untuk berobat di situ.Â
Meski aku meninggalkan angkasa namun insting dalam diriku masih begitu kuat. Dan insting yang menyerupai antena ini, membawaku ke sebuah kamar di rumah sakit itu.Â