Mohon tunggu...
Diah Navianti
Diah Navianti Mohon Tunggu... Dosen Pendidkan Vokasi PTN di Sumatera Selatan

Dosen yang mencoba selalu konsisten dan melakukan pekerjaan dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Makan Bergizi Gratis: Antara harapan kesejahteraan dan Tanggung jawab moral

30 Agustus 2025   15:00 Diperbarui: 30 Agustus 2025   15:00 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada hakikatnya lahir dari niat mulia yaitu memastikan tidak ada anak bangsa yang belajar dalam keadaan lapar, memastikan setiap perut kecil terisi dengan makanan yang bergizi, dan memberi kesempatan pada generasi muda untuk tumbuh dengan sehat, cerdas, dan berdaya saing. MBG dirancang sebagai syair kesejahteraan, sebuah nada harapan bahwa negara hadir mengasuh anak-anaknya dengan kasih.

Isu peralatan makan berbahan stainless steel impor yang ternyata bukan sesuai SNI murni, melainkan dioplos antara bahan 304 yang aman dengan bahan 201 yang berisiko, bahkan dilapisi pemolesan minyak babi untuk memberi kilap instan, membuat program ini semakin menyedihkan. Alih-alih bergizi, apa yang disajikan justru berpotensi menjadi racun, baik bagi tubuh maupun bagi nurani.

Di sinilah letak tragedi moral itu. Sebuah program yang mestinya menjadi rahmat justru bisa berubah menjadi laknat jika dijalankan dengan ketidakjujuran. Apakah arti gizi jika di dalamnya terselip kebohongan? Apakah arti perut kenyang jika hati mereka yang terlibat dalam prosesnya diisi dengan kerak manipulasi?

Sesungguhnya memberi makan itu tidak semata soal nasi, lauk, dan sayur, namun mencakup tindakan spiritual dan tindakan kemanusiaan. Setiap butir nasi yang kita berikan akan menjadi saksi; apakah ia lahir dari niat tulus atau dari kalkulasi untung-rugi yang culas. Makanan yang datang dari keikhlasan akan menjadi berkah, sedangkan yang lahir dari manipulasi akan menjadi beban dan kutukan. Maka dalam membagi gizi kita tidak hanya membagi protein, vitamin, dan karbohidrat. Kita juga harus membagi kejujuran, kesucian niat, dan tanggung jawab moral. Seperti air yang jernih yang menumbuhkan kehidupan, begitu pula hati yang jernih dalam memberi akan melahirkan keberlangsungan generasi yang sehat lahir batin. Sebaliknya, bila air itu keruh dan penuh racun, maka alih-alih menumbuhkan kehidupan, ia justru mematikan.

Kearifan Nusantara telah lama mengajarkan hal ini. Orang Jawa menyebutnya “urip iku urup” hidup itu seharusnya memberi cahaya dan manfaat bagi sesama. Orang Minangkabau berpesan “alam takambang jadi guru”, bahwa alam mengajarkan kita untuk berlaku jujur, sebab segala yang rusak di dalamnya akan kembali kepada kita. Sementara filosofi Bugis Makassar mengenalkan “siri’ na pacce”, harga diri dan empati, bahwa kehormatan manusia terletak pada seberapa tulus ia menjaga amanah dan tidak tega melihat penderitaan orang lain.

Ajaran agama pun menuntun ke arah yang sama. Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, ia berkata Rasulullah SAW bersabda bahwa sesungguhnya Allah itu maha baik (Thayyib), tidak menerima kecuali yang baik baik. Maka, dalam memberi, hati harus bersih, caranya harus benar, dan hasilnya harus menyehatkan jiwa raga.

Filosofinya sederhana. Tubuh manusia bisa kenyang karena makanan, tetapi jiwa manusia hanya akan tenang bila merasa diperlakukan dengan kejujuran. Anak-anak yang menerima makanan dari program MBG tidak hanya membutuhkan gizi bagi otot dan otaknya, mereka juga membutuhkan rasa aman bahwa makanan itu halal, sehat, dan tidak membahayakan. Maka, MBG bukan semata urusan perut, melainkan urusan peradaban. Bila bangsa ini ingin melahirkan generasi unggul, maka makanan yang masuk ke tubuh mereka haruslah bersih dari kebohongan, bebas dari manipulasi, dan terjaga dari racun. Memberi gizi tidak boleh berhenti pada angka kandungan nutrisi di tabel, tetapi harus sampai pada kualitas moral dari proses yang melahirkannya.

Kini Saatnya kita belajar bahwa setiap kebaikan yang tidak dijalankan dengan hati-hati akan berbalik menjadi bumerang. Bahwa setiap niat baik yang diselipi manipulasi akan runtuh menjadi ironi. Mari kita jadikan MBG bukan sekadar proyek politik atau administrasi, melainkan ladang amal dan kesaksian sejarah. Agar anak-anak bangsa ini bisa berkata kelak: “Aku tumbuh sehat bukan hanya karena giziku, tapi juga karena kejujuran bangsaku.”

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun