Mohon tunggu...
Dhuha Dzakirah
Dhuha Dzakirah Mohon Tunggu... Mahasiswa aktif Program Studi Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta

Pengamat Isu Sosial

Selanjutnya

Tutup

Financial

Fenomena 'Fake Rich': Mengapa Generasi Z Rela Berhutang Demi Status Symbol?

6 Juli 2025   04:55 Diperbarui: 6 Juli 2025   04:55 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Refleksi Kependidikan Atas Masalah yang Terjadi

Fenomena fake rich ini sebenarnya mencerminkan kegagalan sistem pendidikan kita dalam mempersiapkan generasi muda menghadapi tantangan zaman. Ada beberapa aspek pendidikan yang perlu dibenahi.

1. Kurikulum Pendidikan Finansial yang Lemah

Sistem pendidikan di Indonesia masih minim mata pelajaran yang mengajarkan literasi finansial. Siswa belajar matematika, tapi tidak diajarkan cara mengelola uang pribadi. Mereka hafal rumus fisika, tapi tidak paham cara menghitung bunga pinjaman. Pendidikan finansial yang ada biasanya hanya berupa ceramah atau workshop sebentar. Tidak ada praktek langsung yang membuat siswa benar-benar paham. Akibatnya, ketika mereka sudah bekerja dan punya uang, mereka tidak tahu cara menggunakannya dengan bijak.

Seharusnya, pendidikan finansial dimulai dari tingkat dasar. Anak-anak diajarkan konsep menabung, membedakan kebutuhan dan keinginan, dan merencanakan pengeluaran. Di tingkat menengah, mereka diajarkan tentang investasi, kredit, dan perencanaan keuangan jangka panjang.

2. Kurangnya Pendidikan Karakter dan Nilai

Pendidikan kita terlalu fokus pada aspek kognitif dan mengabaikan aspek afektif. Seringkali siswa pintar secara akademis, tapi kurang dalam hal karakter dan nilai-nilai kehidupan. Mereka tidak diajarkan tentang kesederhanaan, syukur, dan hidup sesuai kemampuan. Pendidikan karakter yang ada seringkali hanya sebatas hafalan dan teori. Tidak ada praktek nyata yang membuat siswa menginternalisasi nilai-nilai tersebut. Akibatnya, ketika mereka dihadapkan pada godaan konsumtif, mereka mudah tergoda. Sekolah perlu mengintegrasikan pendidikan karakter dalam semua mata pelajaran. Bukan hanya dalam pelajaran agama atau PKn, tapi juga dalam matematika, bahasa, dan sains. Siswa perlu diajarkan bahwa kebahagiaan tidak selalu berkaitan dengan materi.

3. Pembelajaran yang Tidak Kontekstual

Materi pelajaran di sekolah sering kali tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Mereka belajar tentang sejarah kerajaan, tapi tidak belajar tentang cara menghadapi tekanan sosial. Mereka belajar tentang photosynthesis, tapi tidak belajar tentang cara bijak bermedia sosial. Pembelajaran perlu dibuat lebih kontekstual dan relevan dengan tantangan yang dihadapi siswa. Misalnya, dalam pelajaran matematika, guru bisa menggunakan contoh kasus cicilan online atau investasi. Dalam pelajaran bahasa Indonesia, siswa bisa diminta menganalisis konten media sosial yang berkaitan dengan konsumerisme.

4. Kurangnya Peran Orang Tua dalam Pendidikan

Banyak orang tua yang menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak pada sekolah. Mereka tidak terlibat dalam pembentukan karakter dan nilai-nilai anak. Padahal, pendidikan karakter paling efektif dilakukan di rumah melalui contoh dan pembiasaan. Orang tua juga sering kali tidak paham tentang perkembangan teknologi dan media sosial. Mereka tidak tahu apa yang dilihat anak di internet, siapa yang diikuti di media sosial, dan bagaimana pengaruhnya terhadap pola pikir anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun