Dalam sosiologi, ada konsep "conformity" atau kecenderungan untuk mengikuti norma kelompok. Generasi Z mengalami tekanan conformity yang luar biasa dari media sosial. Mereka melihat teman-temannya pamer gaya hidup mewah, lalu merasa harus melakukan hal yang sama agar tidak dikucilkan. Tekanan ini diperkuat oleh pandangan media sosial yang selalu menampilkan konten yang "menarik". Konten orang pamer kekayaan dapat lebih banyak like dan komentar, sehingga lebih sering muncul di beranda. Generasi Z yang setiap hari melihat konten ini akhirnya menganggap gaya hidup mewah sebagai hal yang normal.
Konsumerisme dalam Era Digital
      Sosiolog Jean Baudrillard pernah bilang bahwa dalam masyarakat modern, kita tidak lagi membeli barang karena fungsinya, tapi karena simbolnya. Generasi Z memahami ini dengan sempurna, mereka tidak beli iPhone karena alat komunikasi, tapi karena iPhone adalah simbol modernitas dan status. Era digital memperparah konsumerisme ini, dimana E-commerce membuat belanja jadi sangat mudah dengan cukup beberapa klik, barang yang diinginkan sudah bisa dibeli. Sistem pembayaran yang fleksibel seperti cicilan 0% atau "beli sekarang, bayar nanti" membuat generasi Z merasa bisa membeli apapun tanpa memikirkan konsekuensinya.
Identitas dan Self-Presentation
      Sosiolog Erving Goffman punya teori tentang "presentation of self" atau cara kita menampilkan diri di depan orang lain. Di era media sosial, teori ini jadi sangat relevan, dimana Generasi Z menggunakan Instagram dan TikTok sebagai panggung untuk menampilkan identitas mereka. Mereka tidak ingin terlihat "miskin" atau "kampungan" di media sosial. Jadi mereka berusaha sekuat tenaga untuk menampilkan versi terbaik dari diri mereka, termasuk pamer barang branded, foto di tempat mewah, dan gaya hidup yang terlihat "kekinian".
Instant Gratification dan FOMO
      Generasi Z tumbuh dengan teknologi yang memberikan kepuasan instan, mereka terbiasa mendapat apa yang mereka inginkan dengan cepat. Ketika melihat teman punya barang baru, mereka tidak mau menunggu lama untuk memilikinya juga. Mereka memilih berhutang daripada menabung. Fear of Missing Out (FOMO) juga berperan besar dalam mempengaruhi generasi Z takut ketinggalan tren. Mereka khawatir jika tidak mengikuti gaya hidup teman-temannya, mereka akan dianggap "gaptek" atau "kudet". Jadi mereka memaksa diri untuk selalu up-to-date, meski harus berhutang.
Pergeseran Nilai dan Prioritas
      Nilai-nilai tradisional seperti "hidup sederhana" dan "berhemat" mulai luntur di kalangan generasi Z. Mereka lebih memprioritaskan kebahagiaan sesaat daripada keamanan finansial jangka panjang. Mereka berpikir, "Hidup cuma sekali, kenapa harus menahan diri?". Pergeseran nilai ini juga dipengaruhi oleh budaya pop dan media massa. Film, drama Korea, dan konten media sosial selalu menampilkan gaya hidup mewah sebagai sesuatu yang aspiratif. Generasi Z akhirnya menganggap gaya hidup mewah sebagai tujuan hidup yang harus dicapai.
Ketidakpahaman tentang Literasi Finansial
      Meski generasi Z disebut "digital native", mereka tidak otomatis paham soal pengelolaan keuangan. Mereka bisa dengan mudah menggunakan aplikasi e-wallet dan pinjaman online, tapi tidak paham tentang bunga, cicilan, dan konsekuensi finansial jangka panjang. Kurangnya literasi finansial ini membuat mereka mudah terjebak dalam sistem kredit yang merugikan. Mereka melihat cicilan bulanan yang kecil, lalu menganggap bisa membayar. Tapi mereka tidak menghitung total biaya yang harus dibayar, termasuk bunga dan denda.