Di Indonesia, selalu ada tuduhan keras dari aktivis bahwa elit, jenderal, dan pejabat itu korup. Tuduhan ini muncul karena, gaya hidup mereka tampak jauh di atas rata-rata rakyat. Namun, jika kita menyelami sudut pandang mereka sendiri, ada miskomunikasi besar yang sering luput.
Bagi sebagian elit, jenderal, atau pejabat, "korupsi kecil" yang mereka lakukan justru dianggap sebagai cara menutupi penghasilan resmi yang tidak sebanding dengan beban kerja dan tuntutan sosial. Dalam perspektif mereka, seorang elit "seharusnya kaya", karena status sosial dan ekspektasi publik menuntut wibawa tertentu.
Miskomunikasi Distribusi Kekayaan
Masalahnya, perhitungan ekonomi negara sering hanya berhenti pada anggaran formal. Pengeluaran sosial elit---seperti sumbangan kondangan, bantuan sosial, menjaga loyalitas kader/circle ---tidak pernah masuk ke perhitungan resmi. Begitu juga biaya operasional instansi yang sering lebih besar daripada alokasi anggaran. Akibatnya, muncul defisit tak terlihat yang kemudian ditutup dengan jalan pintas.
Dalam teori political economy of corruption, celah seperti ini disebut "corruption by need". Artinya, bukan semata-mata karena keserakahan, melainkan karena ada kebutuhan yang tidak tercover anggaran resmi. Celah ini membuat bukan hanya pelaku utama, tapi juga pengawas internal seperti polisi militer, provos, atau inspektorat ikut "memaklumi".
Dari Kebutuhan ke Nafsu
Akhirnya lebih parah. Ketika "korupsi karena kebutuhan" dibiarkan tanpa pengawasan, lama-lama muncul kebiasaan. Dari kebiasaan, tumbuh pembenaran. Dan pada akhirnya, nafsu serakah masuk menggantikan kebutuhan.
Jalan Keluar
Jika akar masalahnya adalah miskomunikasi tentang distribusi kekayaan dan biaya riil menjalankan jabatan, maka reformasi tidak cukup dengan menambah UU dan Lembaga pengawas baru. Perlu ada:
- Perhitungan biaya sosial dan operasional agar negara tahu kebutuhan riil elit dan instansi.
- Gaji yang realistis seperti diusulkan dalam teori efficiency wage: gaji tinggi dapat mengurangi insentif korupsi.
Seorang aktivis bisa saja terus menuduh elit sebagai rakus, sementara elit merasa dirinya hanya "menutup kekurangan". Tetapi tanpa bahasa bersama untuk menghitung biaya, menjelaskan beban, dan mengelola distribusi kekayaan negara dengan adil, maka jurang salah paham ini akan terus memperbesar ruang korupsi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI