Mohon tunggu...
Dhita Prahita
Dhita Prahita Mohon Tunggu... -

-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Tri Hita Karana Terabaikan: Belajar dari Banjir Besar Bali 2025

22 September 2025   21:46 Diperbarui: 22 September 2025   21:46 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Banjir di Pasar Kusamba 10 Septermber 2025Sumber: https://ichef.bbci.co.uk/

Pagi 10 September 2025 media sosial dipenuhi gambar dramatis rumah-rumah tergenang hingga atap, kendaraan hanyut terbawa arus, dan warga Bali berbondong-bondong menyelamatkan diri. Banjir besar yang melanda sejumlah wilayah di Pulau Dewata itu bukan sekadar bencana alam biasa. Ini menjadi tamparan keras bahwa Bali yang selama ini dikenal dengan filosofi hidup harmonis Tri Hita Karana, ternyata sedang menghadapi krisis keseimbangan.

Tri Hita Karana merupakan ajaran yang diwariskan leluhur Bali dan menekankan tentang pentingnya menjaga hubungan harmonis manusia dengan Tuhan (Parahyangan), dengan sesama (Pawongan), dan dengan alam (Palemahan). Namun ketika salah satu elemen terganggu maka dampaknya bisa merembet ke seluruh aspek kehidupan. Banjir Bali 2025 menjadi bukti nyata bagaimana kelalaian manusia terhadap lingkungan, alih fungsi lahan, penebangan hutan, pembangunan tak terkendali telah memicu bencana yang melumpuhkan aktivitas ekonomi, merusak tempat ibadah, bahkan menguji solidaritas sosial masyarakat.

Fenomena ini relevan bagi kita semua. Ia bukan hanya persoalan Bali, melainkan cermin bagaimana manusia modern sering abai menjaga keseimbangan. Artikel ini akan membahas akar persoalan, mengaitkannya dengan Tri Hita Karana serta menyoroti langkah nyata agar filosofi luhur itu benar-benar menjadi pedoman hidup di era krisis iklim.

 

Mengapa banjir di Bali harus dilihat lebih dari sekadar persoalan cuaca ekstrem? Jawabannya terletak pada konteks sosial, budaya, dan spiritual Bali sendiri. Selama berabad-abad masyarakat Bali dikenal mampu menjaga harmoni antara pembangunan dan pelestarian alam berlandaskan Tri Hita Karana. Namun dalam dua dekade terakhir tekanan pembangunan pariwisata, urbanisasi pesat, dan minimnya pengawasan tata ruang membuat keseimbangan itu goyah.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB, 2025) menunjukkan Bali mengalami peningkatan signifikan bencana hidrometeorologi, termasuk banjir dan tanah longsor. Alih fungsi lahan sawah menjadi vila atau hotel mengurangi daya serap tanah. Hutan yang ditebang untuk infrastruktur melemahkan fungsi resapan air. Sementara, sampah plastik yang menumpuk di saluran air mempercepat penyumbatan drainase.

Secara sosial dampak banjir merembet pada aktivitas masyarakat. Pedagang kecil kehilangan mata pencaharian karena pasar terendam. Sekolah diliburkan berminggu-minggu bahkan pura dan balai banjar terendam sehingga aktivitas keagamaan dan adat terganggu. Fenomena ini menegaskan bahwa ketika Palemahan (hubungan manusia dengan alam) diabaikan, Pawongan (hubungan sosial) dan Parahyangan (hubungan spiritual) ikut terganggu.

Dengan kata lain, banjir Bali bukan semata akibat curah hujan tinggi melainkan cerminan kegagalan kolektif menjaga filosofi Tri Hita Karana. Maka menghidupkan kembali ajaran ini menjadi sangat penting agar pembangunan tidak lagi sekadar mengejar keuntungan ekonomi tetapi juga berlandaskan keseimbangan ekologi dan nilai spiritual.

1. Tri Hita Karana: Kompas Hidup yang Terabaikan

Tri Hita Karana berarti “tiga penyebab kebahagiaan” atau “tiga harmoni kehidupan”. Filsafat ini mengajarkan bahwa kesejahteraan sejati lahir dari hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam.

  • Parahyangan mengajarkan spiritualitas dan kesadaran akan keterikatan dengan Sang Pencipta.
  • Pawongan menekankan pentingnya solidaritas, gotong royong, dan kerukunan antar manusia.
  • Palemahan mengingatkan manusia untuk menjaga lingkungan agar tetap lestari.

Namun dalam praktik modern sering kali Palemahan yang paling terabaikan. Padahal rusaknya alam akan secara otomatis merusak hubungan sosial dan spiritual. Banjir Bali 2025 menjadi contoh nyata. Ketika sungai tercemar, hutan gundul, dan lahan pertanian berubah menjadi bangunan beton, bukan hanya alam yang rusak melainkan juga kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun