Di tengah derasnya arus modernisasi dan gempuran budaya luar, masih terdapat tradisi lokal yang bertahan dan menjadi perekat sosial masyarakat. Salah satunya adalah tradisi Geduk Beji , yang berasal dari Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Tradisi ini bukan sekadar ritual turun-temurun, melainkan cerminan rasa syukur masyarakat terhadap alam dan Sang Pencipta atas limpahan air yang menjadi sumber kehidupan.
Tradisi Geduk Beji merupakan salah satu kekayaan budaya yang masih lestari di Indonesia. Upacara adat tahunan ini dilaksanakan oleh masyarakat Desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi. Jika di daerah lain kegiatan serupa dikenal dengan nama nyadran , maka di Desa Tawun masyarakat menyebutnya sebagai Keduk Beji.
Secara etimologis, "keduk" berarti membersihkan, sedangkan "beji" adalah nama sendang atau sumber air yang dibersihkan. Ritual Keduk Beji merupakan upacara adat untuk membersihkan Sendang Beji , sebuah sumber air yang dianggap sakral oleh masyarakat setempat. Hal menarik dari tradisi ini adalah rangkaian acaranya yang berlangsung selama lima hari, diisi dengan berbagai kegiatan adat sebelum prosesi pembersihan dimulai.
Sendang Beji dipercaya sebagai tempat sakral yang memiliki kekuatan mistis. Airnya digunakan untuk menyuplai kolam renang wisata Tawun dan mengairi lahan pertanian warga. Di sekitar sendang juga terdapat makam leluhur Desa Tawun, yang semakin menambah nilai sakral tempat ini. Oleh karena itu, ritual Keduk Beji dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan upaya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Makna filosofis dari ritual pembersihan kolam dan pemberian sesaji adalah ungkapan rasa syukur atas berkah air yang telah diberikan oleh Tuhan. Dari sisi sosial, Keduk Beji menjadi wadah interaksi masyarakat yang memperkuat  solidaritas social antar warga dan pemerintah. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mencakup  moral, adat, sejarah, serta kepedulian terhadap lingkungan
Salah satu momen menarik dalam prosesi ini adalah ketika dua penyilem (penyelam) mengganti kendi di dasar sendang. Tindakan ini bermakna simbolis, yakni mengganti air kehidupan agar tetap bersih dan terjaga. Selain itu, tradisi ini juga mengajarkan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, menghormati leluhur, dan berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Lebih dari sekadar ritual keagamaan, Keduk Beji memiliki nilai sosial dan edukatif yang mendalam. Dalam kegiatan ini, seluruh warga tanpa memandang usia, status, atau latar belakang bekerja sama menjaga kelestarian sumber air. Nilai gotong royong, kebersamaan, dan persaudaraan sangat terasa di setiap tahap kegiatan. Di sinilah letak kekayaan budaya Nusantara: tradisi menjadi ruang untuk mempererat hubungan antara manusia sekaligus menjaga hubungan dengan alam.
Sayangnya, di era modern ini, minat generasi muda terhadap tradisi semacam ini mulai menurun. Banyak yang menganggap Keduk Beji sebagai sesuatu yang kuno dan tidak relevan di tengah dunia digital. Padahal, tradisi ini justru mengandung nilai-nilai yang sangat dibutuhkan saat ini : kesadaran lingkungan, solidaritas sosial, serta penghargaan terhadap warisan budaya.
Karena itu, sudah seharusnya kita sebagai generasi penerus ikut melestarikan Geduk Beji . Melalui tradisi inilah kita dapat belajar tentang harmoni antara manusia dan alam, serta menumbuhkan kembali rasa syukur dan kebersamaan yang menjadi dasar kehidupan masyarakat Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI