Si bocah bujang duduk mengisap manisan di daun jendela rumahnya. Jendela yang tak ber-cat warna, tak dilapisi pernis, tidak juga dilengkapi kaca. Jendela ala kadar dari kayu mahoni buatan tangan bapak.Â
Bocah bujang terus duduk di sana, sambil menikmati aroma ikan bakar yang mengepul-ngepul di udara. Kebetulan malam itu ada kegiatan syukuran tetangga atas kelahiran anak pertamanya. Itulah sebab-musababnya, di balai para tetangga sedang sibuk membakar ikan dengan beberapa singkong, ubi dan jagung sebagai menu makan malam orang sekampung.
***
Di balik pintu, terdengar suara parau bapak dan beberapa petani serius bercakap-cakap. Bocah bujang tak sengaja mendengar perbincangan mereka.
"kita kan hanya bertanya, swasembada iku opo maksudnya."
"njeh, aku sing paham....tapi cara bertanyamu ituu loh....."
"mengapa cara bertanyaku? toh kita tidak menantang pak kades. Kita juga ora nentang orang jakarta itu. iyo toh."
"sudah... sudah. Semua sudah terjadi. Sing penting kita sudah membela haknya petani... haknya kita."
Suara berbisik itu terdengar lemah sekali. Bahkan lebih pelan dari suara angin. Mirip-mirip sebuah siasat rahasia, mereka seperti tak ingin ada sepotong kuping yang mendengarnya.
Kreeekk... tiba-tiba bocah bujang membuka pintu. Suasana terkagetkan. Semua orang menoleh ke arahnya. Merasa bersalah karena mengganggu obrolan para tetua, bocah itu hanya tertunduk lusuh. Tapi sebelum pintu kembali ditutup, tiba-tiba bapak bersuara.
"ndok! tolong ambilkan rokok bapak."
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, bocah bujang itu ke dalam kamar mengambil rokok bapak yang sudah tinggal setengah bungkus.