Mohon tunggu...
Dhenok Hastuti
Dhenok Hastuti Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger

penyayang binatang, penikmat kopi, penyuka musik dan film, pembaca buku yang buruk, dan penulis yang terus belajar; mari berkunjung ke rumahku: http://www.dhenokhastuti.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kucing Kampung dan Kepongahan ‘artis’ di Eat Bulaga ANTV

7 Juni 2015   18:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:18 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada Jumat lalu kutulis status di fb:

jadi apa bagusnya acara eat bulaga ini? tak pernah tau sebelumnya, dan baru saja cek, karena dimention kawan dan lagi ramai dibicarakan.

kembali pertanyaannya: apa bagusnya acara ini? materi tak jelas. apa pentingnya obrolan mereka untuk publik? dimana fungsi edukasi media? yang tampak hanya perempuan good looking yg tak jelas bicara apa. para laki2 yang juga hanya cengangas-cengenges entah.

sebuah hiburan? sebelah mana hiburannya? tak bisa bikin acara hiburan yang lebih cerdas?
ketika para pecinta satwa tengah berduka dengan eliminasi anjing di bali, acara ini justru menyuguhkan hiburan tolol yang menertawakan, melecehkan, dan menjadikan kucing kampung seolah mainan.

tak tahukah mereka banyak orang yang peduli dengan kemungkinan overpopulasi kucing liar dengan melakukan sterilisasi dengan biaya sendiri?
tak tahukah mereka begitu banyak orang yang mau berjuang membuka rumah penampungan bagi para kucing liar yang teraniaya di jalanan?
tak tahukah mereka berapa banyak orang-orang miskin yang merelakan sebagian makanan mereka yang terbatas untuk kucing-kucing liar di sekitar?
tak tahukah mereka berapa banyak orang yang menjadikan kucing-kucing kampung ini sebagai bagian dari keluarga, merawatnya ketika sakit, terjaga sepanjang malam untuk menemani, dan berdoa sepanjang waktu agar anak-anaknya ini masih diberi umur panjang?

ah mereka tak akan tau. yang mereka tau, mereka punya uang banyak, beli kucing ras puluhan juta demi gengsi. boro-boro ngerti yang namanya empati. ya, mereka yang mendadak kaya dan atau populer karena dilahirkan oleh industri media yang hanya mengejar rating ini tak akan mengerti apa itu empati.


dukung dan sebarkan petisi, jika anda tak mau anak cucu anda terbius acara-acara televisi tak mendidik semacam ini.
dukung dan sebarkan petisi, jika anda mau anak cucu anda menjadi generasi yang peduli.

ini bukan 'semata' bicara tentang kucing, tapi tentang makin hilangnya empati dan peduli yang makin terpupuk program tv yang ngawur. ‪#‎SaveKucingKampung

sign and share: https://www.change.org/p/eatbulagaantv-minta-maaf-kpd-publik-melalui-tv-karena-melecehkan-kucing-kampung-kpi-pusat-beri-sanksi-kerja-sosial-berkaitan-dgn-kucing-kampung?recruiter=310665241&utm_campaign=signature_receipt_fb_dialog&utm_medium=facebook&utm_source=share_petition

***

Jam 3 pagi. Lebih dari setengah jam aku terjaga, setelah sempat terlelap barang dua jam. Tadi malam aku membaringkan Menik dalam tidur panjangnya. Dan ingatan-ingatanku tentangnya telah membangunkanku dini hari ini.

Siapakah Menik? Dia kucingku. Kucing 20 juta? Sama sekali bukan. Dia kucing domestik. Kucing kampung, demikian orang lebih sering menyebutnya. Kutemukan dia di jalan depan rumah. Bocah umur satu setengah bulanan itu tengah longok kanan kiri. Bocah pemberani, selain mungkin sudah agak lama dia dipisahkan dari induknya. Ya, itulah kemungkinan yang kubayangkan. Tak mungkin bocah sebesar itu main sendiri tanpa induk. Dan ini bukan kali pertama. Karena begitulah, kucing kampung adalah jenis kucing yang dianggap pengganggu. Lalu orang-orang yang pendek akal, pencari solusi instan, akan membuang kucing yang dianggap sebagai pengganggu itu ke wilayah lain. Seperti halnya sebagian besar masyarakat kita memperlakukan sampah, buang ke tempat lain, bersih di lingkungan sendiri, menyerahkan masalah ke orang lain. Begitu pun perlakuan mereka terhadap makhluk tak berdaya ini.

Menik lalu menjadi bagian dari keluarga kucing di rumah. Bersama anak-anak lain yang tak bersaudara kandung. Karena semua anak kuambil dari jalan. Semua kucing sampah. Semua kucing buangan. Semua adalah makhluk lemah yang tak dikehendaki kehadirannya. Tapi aku mencintai mereka. Aku hanya ingin memberi mereka kehangatan keluarga. Mereka menemaniku di saat-saat baik, pun di saat-saat buruk. Mereka memberi cinta dengan caranya sendiri. Aku pun berusaha untuk memberikan yang terbaik buat mereka. Menik salah satu contohnya. Ada banyak cerita di antara kurun waktu 2013 aku mengadopsinya hingga dia pergi semalam. Tapi kuambil saja penggal waktu terakhir hidupnya.

Bulan lalu, persisnya 22 Mei, vet mendiagnosa Menik FIV. Ini adalah virus yang menyerang kekebalan tubuh kucing. Pada manusia kita mengenalnya sebagai HIV. Seperti halnya HIV, FIV tertular dari hubungan seksual, dari ibu ke anak, atau pertukaran darah dari luka perkelahian. Aku tak tahu Menik tertular melalui apa. Yang jelas dia sudah steril. Apakah dia terinfeksi sebelum steril atau melalui perkelahian atau bawaan dari ibunya dulu, entah. Sebagai kucing telantar, sulit untuk menelusurinya. Tak ada catatan silsilah keluarga, apalagi sertifikat. Tapi aku mencintainya. Dan cinta itu for better or worse (do you agree?). Tentu saja aku berjanji untuk memberikan yang terbaik buat Menik. Beruntunglah aku punya teman-teman yang sangat perhatian. Di tengah kondisi finansialku yang tengah bermasalah saat ini, kawan-kawan permeongan memberikan supportnya. Meski hanya berteman lewat jejaring sosial facebook dan sebagian besarnya tak pernah berjumpa, kami solid. Kami saling mendukung. Pun buat Menik, dukungan dalam bentuk dana, obat-obatan, dan doa terus berdatangan. Berharap kesembuhan Menik. Tapi Menik pergi. Sang Khalik lebih menyayanginya. Sebulan lebih aku menemaninya melewati sakit. Pada awalnya hanya memberinya vitamin rutin, makanan terbaik, dan karantina-menghindarkan dia dari kemungkinan tertulari virus lain. Aku membawanya jalan-jalan pada pagi dan atau malam hari, memberinya cerita tentang banyak hal. Tentang banyak hal, masa kecilnya, cerita-cerita saudaranya, juga cerita tentang teman-temannya Om Naga di fesbuk. Mungkin aneh buat yang tak mengerti. Tapi itulah yang kami-setidaknya aku- lakukan sebagai ungkapan cinta buat mereka. Lalu kesehatan Menik drop dengan sangat cepat pada seminggu terakhir. Aku menunda lebih banyak hal lain pada pagi hari dan berjaga lebih lama lagi pada malam hari. Untuk Menik, demi (berharap) kesembuhan Menik. Dan pada saat-saat kondisi fisik dan psikis lagi lelah ini, muncullah heboh tentang tayangan konyol bernama Eat Bulaga ini. Konyol, setidaknya edisi tayang 3 Juni lalu, yang aku tahu dan sempat lihat di youtube.

Sebuah tayangan yang bukan hanya mengganggu tapi bikin marah. Empat ekor kucing kampung dijadikan permainan. Dijadikan ledekan. Dibuat bahan tertawaan. Dibuat panik. Aku tahu salah satu host, Uya Kuya, memelihara kucing berharga puluhan juta. Konon sebagai breeder juga. Aku tak peduli dengan itu. Tak ada urusan. Tapi yang dia harus tahu adalah dia public figur. Dia selebriti. Orang melihat, orang mencontoh. Terutama di tengah masyarakat ‘wanna be’ kita ini. Yup, tayangan tak bermutu televisi telah membangun penontonnya sebagai masyarakat ‘wanna be’. Ingin keren seperti para selebriti di layar kaca. Ingin mengenakan brand dan aneka model fashion seperti selebriti idola mereka. Kalau para selebritinya tak memiliki kepekaan sosial (sebodolah kalo loe emang bego beneran), bakal seperti apa masyarakat pencontoh ini? Dimana produser acara? Dimana tim kreatif acara? Hanya jadi sekrup pendukung bisnis media rating? Atau memang kreatifitasnya sudah mentok sampai di situ?

Tapi tontonan sudah tayang. Dan mengundang polemik. Kalian sih tak tahu seperti apa para penyayang kucing kampung. Buat sebagian di antara kami (kalau aku boleh claim) memelihara kucing kampung itu bukan karena kami tak bisa beli kucing mahal, bukan semata karena itu yang ada di depan mata, tapi juga sebagai kepedulian kami terhadap ‘yang termarjinalkan’. Karena aku begitu: aku marjinal dan aku akan membela yang termarjinalkan. Catat itu! Catat juga dan lihat bagaimana orang-orang yang termarjinalkan berlaku lebih manusiawi terhadap makhluk lainnya. Aku tak ada apa-apanya dibandingkan sekian banyak kawan lain yang melakukan pembelaan terhadap kucing marjinal ini. Aku baru sebatas melakukan sesuatu untuk kucing kampung yang kupelihara, yang sudah menjadi bagian dari keluarga. Ada demikian banyak kawan yang berjuang melakukan TNR (Trap Neutered Release) demi kucing-kucing liar tak over populasi. Karena populasi yang melimpah hanya makin menyudutkan posisi kucing liar ini sebagai sampah, dianggap sumber penyakit, menjadi objek penganiayaan. Lalu dari mana dananya? Pemerintah? Nonsense! Dari kantong sendiri! Catat dan lihat dengan baik-baik juga apa yang dilakukan Ibu Lusi. Mau tahu siapa Ibu Lusi? Kucopas langsung cerita dan foto dari pencerita, Abas Agil Nyak Mamih.

Lusiwati. Demikian nama seorang perempuan penyayang kucing. Bagi para penyayang kucing di Jakarta dan sekitarnya, mungkin lebih sering mendengar nama Ibu Lusi atau Bu Lusi. Dan mungkin juga namanya sudah dikenal sampai keluar Jakarta.
Namun mungkin tidak banyak yang tahu apa kegiatan sehari-hari perempuan ini. Pemulung dan sekaligus merawat kucing jalanan yang terlantar, liar bahkan dibuang. Sejak kiprahnya di dunia perkucingan, sudah lebih dari 600 ekor kucing yang dirawatnya. Setiap hari perempuan ini berkeliling beberapa taman, pasar dan perumahan di daerah Tebet Jakarta Selatan memberi makan kucing-kucing yang dianggapnya sebagai teman, sahabat bahkan anak. Lusiwati tidak memikirkan lagi dirinya tinggal dimana, tidur dimana, makan dimana. Baginya asalkan masih bisa memulung dan memberi makan kucing, cukup sudah. Jangan pernah tanya soal bayar kontrakan rumah bahkan mencicil rumah KPR karena itu semua jauh diluar jangkauannya. Jika hari ini makan sekali itu sudah cukup. Yang penting kucing-kucing bisa makan setidaknya dua kali, pagi dan sore.
Tidak ada yang tahu pasti alamat Lusiwati sebab beberapa kali sudah orang membuang kucing di wilayahnya memulung. Itu sebabnya hanya beberapa orang saja yang mengetahui keberadaan sang ibu kucing jalanan. Banyak kucing-kucingnya yang juga sudah menjalani operasi steril dan kebiri dengan bantuan donasi orang-orang yang peduli.
Setelah menempati bedeng selama beberapa tahun, akhirnya Lusiwati menyerah. Bedeng tempatnya mencurahkan kasih sayang kepada kucing kini dibongkar sudah. Lusi pun sadar akan hal ini karena meski pun membayar sewa kepada oknum, dia tetap harus segera pindah. Bukan masalah dia akan tidur dimana tetapi yang menjadi pikirannya saat ini adalah puluhan kucing yang masih dirawatnya. Baginya semua itu hanya kucing kampung. Ada pun beberapa ekor kucing ras buangan orang tidak bertanggung jawab disebutnya kucing kampung berbulu panjang. Kini di tengah suasana hati yang penuh emosi kesedihan, di antara puing-puing bedengnya, beberapa ekor kucing dengan penyakit parah hanya menunggu uluran tangan orang yang benar-benar peduli kepada kucing. Beberapa ekor kucing bahkan seperti mengetahui dan memahami kondisi sang ibu sehingga mereka tiba-tiba mati atau sakit parah yang tidak bisa disembuhkan. Mungkin mereka merasa dengan demikian sang ibu tidak perlu lagi memikirkan bagaimana menaungi mereka dari panas atau hujan, atau memulung hanya untuk membelikan mereka sepotong ikan yang diaduk dengan nasi. Dan itu juga sudah merupakan takdir mereka.
Suasana mengharukan saat sang ibu berpisah dengan kucing-kucingnya. Diciumnya mereka satu per satu sambil berbicara: "Ayo mak, kamu harus kuat mak. Anak-anakmu sudah aman mak. Jangan mati mak. Kalau disana jangan nakal ya mak," atau "Neng, saudara-saudara kamu sudah hanyut. Kamu jangan mati ya. Kamu tinggal sendiri. Kamu jangan nakal. Makan yang banyak biar sehat."
Tidak ada yang tahu pasti apakah kucing-kucing itu mengerti apa yang dikatakan sang ibu tetapi beberapa ekor diantaranya menjawab dengan mengeong lemah.

Dan masih banyak lagi cerita di luar sana yang tak tersorot kamera. Tak terberitakan. Tak tersebut di jejaring sosial. Bukan seperti kalian yang menayangkan program bagi-bagi uang untuk pencitraan dan lagi-lagi rating dengan menjual kemiskinan, penderitaan, dan air mata.

Ya, lihat dan catat baik-baik itu semua, hey para artis gadungan! Lebih tepat menyebut kalian sebagai selebriti, orang-orang yang populer, yang menjadi populer karena media. Istilah artis terlalu bagus. Memang apa karya seni kalian sehingga perlu disebut artis? Tapi tingkah konyol kalian sudah kadung tampil di media. Televisi Nasional! Penyayang kucing pun tak tinggal diam. Petisi dibuat. Sign, share. Sampai saat ini sudah mencapai .. dan aku yakin akan bertambah. Apa reaksi tim Eat Bulaga? Aku tak nonton acaranya, aku tak berteman dengan mereka. Aku mengutipkan yang sudah teman-teman bagikan sebagai kelanjutan dari kasus ini.

Masih ada yang berharap para selebriti ini melakukan sesuatu, mau peduli dengan kucing liar misalnya? Ah aku sih tidak. Mereka adalah mereka. Bukan kita. Itu soal mindset. Lihat saja contoh-contoh pernyataan mereka. Dan sekali lagi aku tak ambil pusing dengan itu. Aku hanya menitip, bijaklah kalian bersikap di media. Memang, untuk menjadi idealis atau pragmatis itu adalah pilihan. Mau peduli perihal fungsi edukasi media atau mengambil keuntungan semata darinya. Yup, itu pilihan. Dan sah-sah saja untuk memilih salah satunya. Tapi setidaknya pakailah sedikit etika. Sedikiiit saja. Agar orang tahu kalau kalian masih manusia. Yaaa minimal publik tak perlu melihat kedangkalan pikir kalian seperti apa.

Cerita Menik dan saudaranya bisa dibuka di sini: Aneka Cerita Kucing

*

Btw, aku menyarankan untuk kawan-kawan tak ikut memakai istilah kampungan. Aku sendiri lebih suka memakai istilah norak. Buatku istilah kampungan mendiskreditkan kampung. Seolah kota dengan modernitasnya itu lebih keren daripada kampung dengan kebersahajaannya. Maka judment ‘kampungan’ hanya diberikan kepada mereka yang tak ‘ngota’. Dan tidak sebaliknya. Tidak ada judgement apapun untuk perilaku orang-orang kota yang tak tahu etika. Yuk, kita cari istilah lain. Karena ‘kata’ memiliki makna.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun