Mohon tunggu...
Deni
Deni Mohon Tunggu... Wiraswasta - Manusia biasa

Menjalani hidup dengan apa adanya

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi: Upeti Malam

22 Mei 2020   06:03 Diperbarui: 22 Mei 2020   06:45 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kekosongan lirih menggeliang dengan hening. Sepulangnya napas dari jeruji bisu, bingkai abu seakan-akan lebih pengertian ketimbang penghuni nyata. Kalimat-kalimat pupus seperti mendewakan haknya dari keadaan. Sedangkan upeti malam hanya duduk teralienasi di atas pangkuan doa.

Keterpaksaan adalah perigi keistimewaan hidup. Kepala yang tergadai mengangkangi hal-hal kering dan bermandikan tawar. Mungkin benar adanya, kepastian hanyalah musyawarah waktu yang belum tentu jumlah. Langkah pun terbit di antara pusara mimpi yang jarang tercuci oleh kesenian hati. Dari sehelai jasad yang masih dikandung harap, tulang-tulang kini meringis di bawah hujan.

Andai senarai air mata menjadi penawar, pastinya akan ada kesan yang harus dijual. Meski latar bianglala sudah mulai keropos dan tak layak untuk dijadikan mahkota. Mungkin setelahnya, berkas itu hanya akan menjadi bahan pengajuan takdir kecil-kecilan semata.

Lantas, pertanyaan mana yang lebih romantis? Bersiteguh di dalam dekapan duka atau mencoba berbincang-bincang sejenak dengan dunia semestinya? Namun, jawaban itu enggan mekar bersama kekalahan. Kini aku pun menyadari, bahwa sosok kehilangan adalah hantu yang paling jahil di antara rindu yang bergelantungan.

Sukabumi, 21 Mei 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun