JURNAL PAGI
Apa yang sudah kau raih? Sekian lamanya kita menguntai kebersamaan, namun manisnya tak pula tersuguh di saat kita baru membuka mata. Tak penatkah dirimu menyaksikan, menghidu, dan menelan aksara penenang di atas kenap kekhawatiranmu? Ya, itulah petunang agar kau kerasan untuk hidup di dalam selasar ketiadaanku.
Tahukah engkau? Bahwa setiap lempengan harapmu adalah dialogku untuk menjajarkan kata, menyalakan tema, dan mencantumkan dusta untuk hari esok. Walau aku tahu, napasmu tak mungkin selamanya tertampak di sini. Itu pun sudah kurangkum sebelumnya bersama gerimis di sore lalu.
Hidupmu terlalu ringkas jika harus menunggangi nasib lelaki yang alakadarnya. Bisa saja sewaktu-waktu ia belum mengetahui perihal kabar lambungnya sendiri, atau malah suara merdu itu sudah tak asing lagi baginya. Tak baik jika bibirmu terus mencurangi kehendak. Nyatanya, kalimat kesungkanan itu sudah terlanjau di dalam darahmu.
Kau tak perlu menyusahkan perasaanmu. Masih banyak jurnal hidup yang belum terlahir dan Tuhan pun tak mungkin diam. Bersandarlah di atas pundak yang mampu memodali syarat yang sebenarnya, bukan memperkaya isyarat yang sepenuhnya. Senantiasa senyumanmu akan terus mengalir bersama orang-orang yang tepat.
Sukabumi, 21 Februari 2020