"Tape manis, tapi manis" pak Pak Pujiono dengan suara paraunya. Kakek dengan usia lebih dari 80 tahun ini masih bertahan berjualan tape keliling Kota Salatiga. Iseng saya bertanya "mBah sehari dari jualan tape dapat berapa ribu?". "Kalau sepi paling dapat 500an ribu mas" jawabnya.
Di masa pandemi, saat banyak usaha terkapar, namun kakek Pujino tetap mendapatkan berkah. Penjaja tape singkong dari Desa Kluwek, Karang Gede, Boyolali ini tetap setia dengan usahanya yang dirintis turun temurun. Kakek dengan 7 anak dan 21 cucu dan 3 cicit ini masih kuat berjalan keliling Kota Salatiga dengan memikul 2 keranjang tape.
Pagi itu, dia duduk di sudut tangga arah pintu masuk pusat perbelanjaan. Kebetulan saya sedang berada di situ dan tertarik untuk membeli tape. "Mbah 5 ribu, makan di sini saja".Â
Saya mulai menikmati tape singkong. Aroma yang khas, yakni ada bau alkohol dan sedikit asam. Saya merasakan di ujung lidah terasa manis, teksktur lembut, dan legit.Â
Saya telan pelan-pelan, ada sensasi rasa pahit di akhir makan/after teste. Kembali saya menjumput tape dan menikmati hingga menyisakan cairan keruh di atas daun pisang, andaikata tidak ada orang sudah saya jilat .
Iseng saya bertanya, tentang rahasia dapur dari tape mbah Pujiono. Sepertinya pertanyaan saya kurang etis, karena bertanya tentang harta karun miliknya. Saya tidak berharap mendapatkan jawaban yang memuaskan, karen bisa dibilang ini adalah resep rahasia.
Saya harus melihat kualitas tanahnya, bibit singkongnya untuk mendapatkan kualitas singkong yang baik. Biasanya saya meminta petaninya untuk menanan setiap minggu satu barus. Dengan demikian saya bisa panen tiap minggu sesuai dengan kebutuhan saya.
Singkong yang baik, usianya 8 bulan. Jika kurang dari 8 bulan masih nyontrot (seratnya masih kasar), kalau lebih 8 bulan singkong jadi ganyong (kehilangan pati).Â
Jadi panen harus pas. Untuk melihat singkong siap panen saya mengambil contoh lalu saya makan mentah-mentah. Lidah saya sudah mengenali singkong enak dan tidak.