Mohon tunggu...
Dhany Wahab
Dhany Wahab Mohon Tunggu... Penulis - Lembaga Kajian Komunikasi Sosial dan Demokrasi [LKKSD]

IG/threads @dhany_wahab Twitter @dhanywh FB @dhany wahab Tiktok @dhanywahab

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pileg 2024; Cukup Satu Surat Suara?

25 Mei 2021   12:45 Diperbarui: 12 Maret 2022   15:57 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepanjang tahun 2024 diproyeksi akan menjadi ajang kontestasi politik, baik ditingkat nasional maupun daerah. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyusun dua simulasi jadwal Pemilu Serentak 2024. Kedua model memakai simulasi tahapan lebih dari 20 bulan dengan pertimbangan kompleksitas pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024.

Komisi II DPR, Kemendagri dan Penyelenggara Pemilu membahas desain Pemilu 2024 dalam rapat tertutup, Senin (24/5/2021). Dalam forum itu, KPU mengusulkan alternatif baru hari pemungutan suara Pemilu dan Pilkada 2024.

Sebelumnya KPU mengusulkan 14 Februari atau 6 Maret sebagai hari pencoblosan pemilu dan 26 November untuk pilkada. Kini usulan terbaru ialah pemilu pada 21 Februari 2024, dan pilkada pada 20 November.

Menjelang Pemilu Serentak 2024 membuka ruang evaluasi bagi kita untuk mengukur sejauh mana efektifitas dan efisiensi sistem dan desain pemilu yang berlangsung selama ini. Untuk menyiapkan dan melaksanakan Pemilu 2024, KPU mengusulkan anggaran lebih dari Rp 86 triliun yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) secara multiyears, mulai 2021 sampai 2025.

Komisioner KPU RI Viryan Azis menyebut penyelenggaraan pemilu 2019 dengan segala capaiannya menyisakan residu yang harus serius dimitigasi sejak dini. Sebanyak 722 petugas pemilu wafat dan ribuan petugas sakit. Angka ini belum ditambah dengan jumlah petugas yang wafat dari unsur pengawas, peserta pemilu dan aparat. Residu lainnya yang perlu dimitigasi terjadi seperti disinformasi dan keterbelahan politik warga.

Ragam permasalahan yang tersisa dari Pemilu Seretak 2019 harus diselesaikan secara arif dan bijaksana. Penyelesaian yang komprehensif membutuhkan soliditas dan sinergitas dari seluruh elemen bangsa. Bagaimana konsep dan desain Pemilu Serentak 2024 yang paling efektif untuk dilaksanakan serta bagaimana kesiapan penyelenggara pemilu menjadi persoalan utama yang harus dicari solusinya.

Sejumlah kalangan awalnya berharap revisi UU Pemilu dapat dilakukan sebelum pelaksanaan Pemilu Serentak 2024. Dibutuhkan beberapa prasyarat agar penyelenggaraan pemilu 2024 berlangsung lebih baik, diantaranya; UU Pemilu yang aspiratif dan aplikatif sebagai payung hukum serta desain model pemilu serentak, penyelenggara pemilu yang kapabel dan profesional, efektifitas pembiayaan pemilu serentak yang pro rakyat, kesiapan partai politik dalam mengikuti pemilu serentak dan perlunya sosialisasi politik dan partisipasi masyarakat.

UU Nomor 7 Tahun 2017 pasal 168 ayat (2) menyebut; Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Sistem proporsional terbuka dipilih untuk mencegah terjadinya praktik jual beli nomor urut calon legislatif seperti pada pemilu masa orde baru yang menganut sistem proporsional tertutup.

Namun, dalam praktiknya sistem proporsional terbuka justeru mendorong terjadinya liberalisasi pemilu yang berbiaya tinggi. Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) periode 2012-2017, Jimly Asshiddiqie menilai sistem proporsional terbuka mendorong terjadinya money politic (politik uang) yang semakin masif dan permisif serta modus kecurangan dalam bentuk lainnya.

Dampak penerapan sistem proporsional terbuka memicu praktik kotor politik merajalela ditengah masyarakat, penyelenggara pemilu dan calon legislatif. Persaingan tidak hanya terjadi antar partai politik, tetapi juga menimbulkan konflik antar caleg di internal partai dalam dapil yang sama.

Sistem proporsional terbuka menimbulkan biaya yang besar untuk pengadaan logistik pemilu; seperti surat suara dan formulir yang beragam jenisnya. Dalam proses penghitungan suara di TPS menjadi lebih rumit. KPPS harus lebih teliti menghitung suara partai dan perolehan masing-masing caleg. 

Berbeda dengan sistem proporsional tertutup, surat suara lebih ramping karena hanya memuat tanda gambar dan nomor urut partai politik peserta pemilu. Pemilih lebih mudah dalam mencoblos dan melipat kembali surat suara sebelum dimasukan ke kotak suara. Selain itu proses penghitungan surat suara menjadi lebih mudah dan simpel.

Pasal 172 UU Nomor 7 tahun 2017 secara tegas menyebut; Peserta Pemilu untuk anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah partai politik. Norma ini hakekatnya memberikan kewenangan kepada partai politik untuk menyeleksi dan menentukan caleg yang akan diusung dalam pemilu. Publik dapat mencermati visi misi dan program kerja setiap partai politik bukan persaingan antar caleg yang ditawarkan saat kampanye.

Fakta membuktikan dalam Pemilu Serentak 2019 dengan sistem proporsional terbuka ternyata ada caleg yang mendapat suara terbanyak tapi gagal dilantik. Bahkan melalui kewenangan yang dimilikinya pengurus pusat partai dapat mengganti caleg yang memperoleh suara terbanyak digantikan oleh caleg nomor urut berikutnya.

Seyogyanya kita dapat kembali merumuskan sistem dan model pemilu yang praktis dan efisien untuk memilih wakil rakyat di parlemen dari pusat dan daerah. Mengapa kita tidak mencoba menggunakan satu model surat suara saja untuk memilih partai politik yang kita percaya dan yakini mampu memperjuangkan aspirasi kita di lembaga DPR dan DPRD?

Jika hal ini bisa dilakukan maka Pemilu Serentak 2024, pemilih cukup mendapat tiga jenis surat suara, yaitu surat suara untuk Pilpres, surat suara untuk DPD RI dan surat suara untuk memilih partai politik yang akan menempatkan anggotanya di DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan sistem proporsional tertutup.

Seandainya hal ini bisa diwujudkan maka kita dapat menghemat minimal 40 persen biaya pengadaan logistik surat suara. Proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS dipastikan akan berlangsung hemat waktu, mudah dan efektif. Cukup dengan tiga jenis surat suara untuk Pemilu Serentak 2024, tidak lagi dengan lima surat suara seperti pada Pemilu Serentak 2019.

Rakyat sudah mempunyai pengalaman mengikuti pemilu dengan sistem proporsional tertutup pada zaman orde baru dan pemilu sistem proporsional terbuka di era reformasi hingga saat ini. Kita juga dapat menyaksikan kinerja wakil rakyat di DPR dan DPRD dari dulu hingga sekarang yang tidak jauh berbeda meskipun dihasilkan dari sistem pemilu yang berbeda.

Pemilu sejatinya adalah kontrak sosial antara masyarakat dan partai politik. Kita menghendaki kontrak sosial yang efektif dan berkualitas bagi demokrasi di Indonesia yang berujung pada tercapainya kesejahteraan rakyat.**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun