Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Benarkah Menulis Itu Kegiatan yang Sepenuhnya Sendiri?

29 Desember 2020   20:59 Diperbarui: 30 Desember 2020   04:06 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menulis| Sumber: Shutterstock/Marina Andrejchenko via Kompas.com

Menulis itu sendirian, dan hanya kita sendiri yang bisa mencipta rangkaian kata. Ini fakta.

Tapi, pernahkah kalian berpikir, kalau menulis itu tak selamanya sendiri? Jangankan selamanya, 100% sendiri dari segi ide pun pasti tak akan tercapai.

Kalau kalian lihat bagaimana proses kreatif yang mengiringi dari belakang, pasti ada kontak dengan orang lain, baik langsung maupun tidak langsung.

Iyalah, status kita sebagai makhluk sosial, tak mungkin bisa dilepaskan. Jangan harap bisa lari menjadi individu yang sepenuhnya sendiri. Selama ada manusia lain, hubungan antar sesama akan terus ada. Itu pasti.

INSPIRASI DAN RUJUKAN DARI SI "ANU"

Ide itu tak sepenuhnya dari diri seorang. Seratus persen sekalipun, otak kita tak sanggup memproduksi inspirasinya sendiri. Nyatanya, ada kok ide yang jelas-jelas datangnya dari orang lain, meskipun lewat tulisan dan dibacanya.

Bagaimana bisa? Ya, tentu saja. Bukankah tulisan adalah perwakilan dari seseorang itu sendiri? Dan jangan lupa juga, tulisan itu adalah bukti bahwa ia hadir, atau pernah ada lewat serangkaian kata-kata yang keluar dari hati dan pikirannya, menjadi "buah" atas pemikirannya.

Dengan kata lain, secara tidak langsung, orang lain-lah yang memengaruhi dirinya untuk berkarya. Secara kasarnya sih, "dibantu" dalam hal inspirasi, keilmuan, dan rujukannya. Jangan heran, kalau setiap tulisan dan karya ilmiah sekalipun, pasti ada referensinya.

Coba kalian bayangkan, kalau keilmuan tanpa rujukan? Terasa pincang, ya. Memang, tradisi ilmiah seperti itulah adanya; selalu menyertakan rujukan dari (tulisan) orang lain sebagai penguat atas keilmuannya.

Termasuk, saat kalian beropini. Opini yang berkualitas, mustahil semuanya murni dari pemikiran sendiri. Pasti ada sumber lainnya yang menguatkan itu, yang dibacanya sebelum mengutarakan pendapatnya. Intinya, tak bisa sembarangan!

PERCAKAPAN DENGAN ORANG LAIN, DI BALIK LAYAR MENULIS

Ibarat di atas panggung, kita sama-sama tampil di layar monitor, mempertunjukkan ide dan pikirannya lewat untaian kata-kata lalu diunggah di hadapan pemirsa maya.

Ya sih, kelihatannya jago banget, lancar berkata-kata lewat susunan kata, namun di balik itu semua, pasti ada proses yang dilaluinya di luar kepenulisan.

Di luar dunia menulis? Benar!

Jadi,  jangan hanya buku-buku dan teks rujukan yang jadi andalan untuk menempa jadi penulis, dong! Kalian tahu sendiri, dalam hidup, pasti bakal bersentuhan dengan orang lain.

Nah, orang lain yang menemuinya secara langsung, baik ngobrol ringan maupun wawancara, sedikit-banyak bisa menolong kalian menemukan inspirasi, bahkan, menambah pengetahuan baru!

Karena, masing-masing orang itu, punya pengalaman, pendidikan, dan keilmuannya sendiri-sendiri. Dan ingat, lingkungan tempat dia hidup, juga memengaruhi, kok.

Tentu, orang yang tinggal di kota, sudah pasti pengalamannya berbeda dengan yang tinggal di pedalaman, begitu juga dengan hal yang lainnya.

Maka, bertemu orang lain dan membicarakannya, sadar maupun tidak, itu telah bertukar pikiran untuk memperkaya yang ada dipikirannya masing-masing, lewat obrolan yang melibatkan mereka berdua, bertiga, dan seterusnya.

Termasuk, pada seminar, yang memungkinkan mereka bertukar pikiran dengan hal-hal yang lebih banyak lagi, karena sudah pasti ada puluhan atau ratusan orang yang membawa pengetahuan dan pengalamannya masing-masing.

Hal inilah yang membawa tulisan menjadi tinggi mutunya, jika hasil percakapan itu diabadikan dalam tulisan. Sila kalian dicek, antara tulisan yang sumbernya murni dari diri sendiri dengan tulisan dengan tambahan sumber dari orang lain, tentu yang kedua, bukan?

Tapi,  dengan catatan, bukan obrolan kosong, ya. Namun, percakapan yang ada maknanya; ada informasi di baliknya.

Terlebih lagi dalam jurnalis atau opini investigatif, pertemuan dan pembicaraan dengan orang lain adalah harga mati, karena pada merekalah kunci informasi dipegang dan memberikannya pada narasumber yang diwawancarainya.

Tak cuma sekali, malah bisa berkali-kali demi mendapatkan pernyataan yang valid. Merepotkan sih, dibanding copy-paste dari sumber lain yang sudah jelas enak banget. Haha. Tapi, itulah seninya menjadi pewarta, kroscek dari orang ke orang lainnya demi suatu kebenaran.

Lalu, apalagi? Bisa juga dalam karya fiksi dan nonfiksi, wawancara itu bisa menggali apa yang diketahui orang lain, dan jadi bagian dari riset.

Bayangkan saja, kalau riset tanpa obrolan? Waaah, mustahil punya karya yang berbobot. Apalagi yang di ranah akademik. Tulisan-tulisan ilmiah rasanya hampa dan tak ada nilainya!

Jadi, masihkah kalian menyangkal bahwa menulis itu pekerjaan yang tak bergantung sama orang lain? Coba kalian pikir lagi.

Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun