Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Lihatlah, Betapa Sulitnya Bertransaksi Nontunai di Desa!

15 Juni 2020   07:07 Diperbarui: 15 Juni 2020   10:04 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transaksi nontunai belum familiar penggunaannya di desa| Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Terus, bagaimana nasib yang megang uang non tunai, entah dalam bentuk dompet digital atau kartu e-money? Mau bayar apa pun jadi susah, karena biasanya, hanya minimarket ternama yang sanggup menerimanya!

Dan, itulah yang saya alami, ingin membeli sesuatu dan bayar hanya bermodalkan kartu e-money milikku bergambar Bhin-Bhin (maskot Asian Games 2018) aja harus ke minimarket terkenal di kampung sebelah, karena hanya toko itu yang menyanggupi untuk bayar dengan kartu itu.

Padahal, ada supermarket dekat rumah yang juga terletak di desaku, yang menyediakan barang yang jauuuh lebih lengkap daripada minimarket. Eh, malah kartu uang elektronik gak berlaku di tempat itu, karena saya sudah mencobanya, dan tidak bisa!

Sumber gambar: The Financial Express
Sumber gambar: The Financial Express
Kecewa? Pasti. Terlebih, ada pembayaran kartu debit dan kredit yang bisa diterima oleh pengelola supermarket tanpa ditolak. Lagi-lagi, harus bawa uang tunai kalau belanja di supermarket itu.

Lalu, di minimarket terkenal yang satunya lagi, bisa bayar pakai G*pay. Dan, diriku sudah beberapa kali berbelanja dan bayar pakai uang itu. Selebihnya, kalau ke pasar, ke toko-toko, ujung-ujungnya selalu pakai uang cash, tak ada cara lain di luar itu!

Hmmm, kalau begitu, ingin keluar dari zona nyaman bertransaksi di desa terutama di pasar, toko dan warung, rasanya butuh sosialisasi yang masif terhadap pembayaran non tunai, apalagi menghadapi delapan puluh ribu desa yang banyak sekali!

Soalnya, susah kalau orang desa meninggalkan pembayaran tunai dengan uang kertasnya, yang lama kelamaan akan luntur seiring waktu. Karena apa? Pengelolaannya gampang, terus sebagiannya jadi modal buat beli barang dagangan di daerah lain yang juga menerapkan pembayaran tunai. Gak repot!

Jadinya, pihak yang menggerakan pembayaran non tunai di desa, ya harus diberitahukan besar-besaran! Tentang keunggulannya, caranya, plus jangan lupa juga, harus menyediakan teknologi yang mendukung untuk transaksi cashless.

Terlebih lagi, masih banyak desa yang jaringannya gak stabil, bahkan malah yang blank alias kosong. Padahal, mau transaksi non tunai pakai hape juga butuh jaringan lho. Bagaimana bisa dipakai uang elektronik di aplikasi, kalau sinyalnya malah tak ada?

Toh, uang elektronik di aplikasi bisa diubah wujud jadi tunai lewat tarikan di ATM, jadi gak perlu khawatir kalau misalkan beli barang dagangan di tempat lain yang harus pakai tunai, sedangkan pedagang hanya punya uang elektronik, ya tinggal tarik aja di sana!

Memang sih, perlu waktu untuk menuju masyarakat non tunai yang setara dengan masyarakat kota. Kalau anak muda, rata-rata sudah biasa lah ya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun