Hari terakhir TOT.Â
Ruangan aula hotel rasanya lebih sumpek dari pada pagi pertama. Aku, Yuliana Widya Kresna, duduk di kursi barisan belakang. Tepatnya di pojok, dekat dispenser galon. Posisi paling aman kalau mau kabur pura-pura ke toilet.
TOT ini wajib, katanya. Perusahann tempatku bekerja mewajibkanku yang dianggap salah satu karyawan senior teladan. Katanya sih supaya siap jadi trainer untuk pegawai baru. Katanya lagi, "investasi pengembangan diri." Yang nggak ikut, siap-siap dicoret dari promosi jabatan.
Padahal aku ogah-ogahan. Aku kerja kantoran cuma biar nggak dibully keluarga, keluarga bapak dan saudara tiriku pastinya. Biar nggak dicap sarjana nganggur. Aku kerja kantoran sambil jalanin bisnis sablon kaos dan merchandise warisan simbah dari ibu. Tapi bagus juga sih selain biar kelihatan trendi, beberapa ide usahaku banyak yang aku jiplak dari Perusahaan tempatku bekerja. Anggap saja menyelam sambil minum air. Lagi pula usahaku meskipun UMKM sudah bisa auto pilot.
Dari depan ruangan, suara bariton seorang trainer terdengar:
"Besok kalian akan menjadi trainer bagi pegawai baru --- tunjukkan integritas, disiplin, dan semangat kerja yang tinggi, karena etos kerja kalian akan menjadi contoh pertama yang mereka lihat dan tiru."
Aku mendongak. Pak Arga Sutresno. Dosen Fakultas Ekonomi, katanya. Usia tiga puluh sembilan. Penampilannya elegan, tutur bahasanya lembut dan sorot matanya teduh, khas family man. Tidak sembarang aku memberi predikat family man, karena pernah suatu kali aku mendengar beliau menerima telepon dengan suara yang sangat lembut dan sabar yang kuyakini keluarganya, pasti istrinya.
Aku cuma melihatnya sekilas. Pak Arga sering dibilang trainer paling "dingin" tapi juga paling bikin cewek gagal fokus. Sialnya, aku bukan termasuk cewek yang gagal fokus. Aku terlalu capek untuk peduli.
Hari ini, jam TOT molor dua jam. Selesai pukul empat sore. Semua orang buru-buru pulang.
Aku menoleh. Pak Arga berdiri sendirian di depan pintu lobi, wajahnya sedikit kebingungan.