“Kamu ngga takut ditinggal kabur kalau punya pacar bule?” tanya Zahra hati-hati.
Dita tersenyum manis sebelum menjawab. Yang sebenarnya ditujukkan untuk Pria bule itu, bukan kami.
“Mereka ngga akan seperti itu. Kalaupun mereka harus meninggalkan negeri ini, mereka pasti akan mengajak pacarnya,” jawab Dita sambil tersenyum sangat sangat manis.
Dita bukan hanya terobsesi, tetapi tergila-gila dengan keinginannya untuk mendapatkan seorang pacar bule. Aku hampir yakin detik ini Dita sedang membayangkan dirinya diajak serta oleh pria bule ke negara asalnya. Dan aku sangat yakin bahwa Dita berharap pria itu memiliki paspor dari salah satu negara-negara yang bermata uang Euro. “Apa bedanya mereka dengan pria pribumi?” Sudah sejak lama aku ingin bertanya tentang hal ini. Aku ingin tahu apa yang membuat temanku tidak mencintai produk dalam negeri.
“They have a lot different things.”
Ya, Tuhan kalau saja mencekik seseorang itu bukan dosa besar, sudah sejak lama aku akan melakukannya pada gadis ini. Supaya Dia bisa berhenti bergaya British.
“Pertama, pria pribumi tidak menghargai wanita seperti yang dilakukan para bule itu. Kedua, Pria pribumi tidak seromantis pria-pria asing itu. Ketiga, terlalu banyak pria negeri ini yang semakin lama semakin mengerikan sampai ngga ada bedanya antara pria baik-baik dan pemerkosa di dalam angkot.”
“Hanya itu?” pertanyaanku sebenarnya adalah hanya itu bahasa inggrismu, tetapi tidak berani aku lakukan.
“Masih ada lagi..”
Aku mengangkat tanganku memotong perkataan Dita. Dia tidak akan berhenti bicara seperti kereta tanpa rem jika sudah menyangkut pria. “Pertama, ini seperti kita sedang bertamu di rumah orang lain. Sejak kecil kita diwajibkan menghargai tamu, sebagaimana mereka menghargai kita. Pria bule itu menyukai wanita Asia karena pria-pria bule itu merasa tidak dihargai oleh wanita-wanita di negaranya, sama seperti pria negeri ini. Memangnya kita menghargai mereka—pria pribumi maksudku? Kedua, romantis itu karakter seseorang bukan karakter bangsa. Mungkin pria romantis di negara ini memang hampir punah, tetapi bukan berarti tidak ada. Ketiga, bejat atau tidaknya seorang pria itu tergantung bagaimana mereka mengontrol nafsu binatang mereka. Kalau sekarang ini negara kita sedang ramai dengan kasus pemerkosaan, bukan berarti di negara lain ngga ada kan?” jawabku dengan cepat. Aku tidak ingin perkataanku dipotong oleh Dita yang semakin cemberut setelah mendengar kata-kataku. Sementara Zahra hanya tersenyum manis melihatku dan Dita.
“Aku tidak akan berubah pikiran. Menurutku mereka jauh lebih baik,” Dita tersenyum manis ke arah pria berkaos biru.
“Terserah. Itu kan pilihanmu. Aku hanya ingin memperbaiki pemikiranmu yang salah tentang lawan jenis kita di negeri ini. Masih banyak pria baik-baik di antara yang rusak.”