Mohon tunggu...
Dew
Dew Mohon Tunggu... Lainnya - Orang biasa.

Halo!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebuah Keluarga dengan Etika Tolong-menolong

30 Juni 2022   00:34 Diperbarui: 30 Juni 2022   00:56 1194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tolong-menolong (sumber: rawpixel - freepik.com)

Fastabiqul Khairat. Dulu sekali ketika madrasah, saya pernah membawakan ceramah mengenai tema ini, berlomba-lomba dalam kebaikan. Tapi saat ini saya bukan mau ceramah, hanya saja saya sedang diingatkan kembali oleh sebuah keluarga tentang etika tolong-menolong.

Jadi, saya ingin bercerita sedikit tentang keluarga tersebut. Boleh disebut "ghibah" baik, karena tentu saja saya bukan mau mengumbar aib dalam tulisan ini.

Melihat mereka, rasanya berbuat baik itu belum lengkap kalau hanya memberikan pertolongan, berbuat baik itu akan lengkap jika menolong disertai dengan etika (paling tidak etika dalam penafsiran subjektif saya).

Kembali pada cerita.

Keluarga yang ingin saya ceritakan ini adalah keluarga yang mapan secara ekonomi dan terpandang di lingkungannya namun merupakan keluarga yang sederhana. Sebut saja keluarga Pak Aan. Sebuah keluarga kecil yang terdiri dari 3 anggota keluarga, sepasang suami istri dan seorang anak yang baru masuk sekolah menengah pertama.


Yang saya kagum dari Pak Aan dan Istri adalah keduanya punya cara yang mungkin jarang ditemukan pada orang lain dalam hal tolong menolong. Mereka menolong dan meminta pertolongan dengan etika. Tolong-menolong yang cantik. 

Sebetulnya pemikiran ini muncul begitu saja. Hanya saja cara keluarga kecil ini menolong dan meminta tolong memang berbeda.

Terkadang ketika kita menolong dan ditolong, ada saja sikap yang tersirat ketika melakukan tolong-menolong, entah itu rasa ingin dipuji, tinggi hati, atau menolong namun disertai "kuliah", menawarkan pertolongan namun memandang rendah, atau meminta tolong yang seperti sedang meminta ganti rugi. Nah, keluarga Pak Aan adalah salah satu yang tidak memiliki kesan-kesan demikian.

Sekalipun memang "isi hati orang siapa yang tahu", tak ada yang bisa menebak dengan pasti, namun hal-hal seperti ini biasanya bisa kita tangkap seketika, tentu saja tanpa kita rencanakan, karena tercerminkan lewat sikap, bahasa, gestur, maupun intonasi.

Meskipun sebenarnya sikap-sikap yang tersirat tersebut juga bukan berarti disengaja, terkadang mungkin memang begitulah cara orang menolong dan meminta tolong. Sudah sifatnya begitu. Namun tetap saja, akan lebih menyenangkan kalau sikap kita dalam tolong-menolong juga bisa memberikan rasa nyaman kepada yang menolong atau yang ditolong. Tolong-menolong yang plus.

Jika disebutkan satu persatu, maka ini yang dapat saya sebutkan ketika ditolong dan menolong keluarga kecil ini.

Pertama, saya merasa dihargai ketika dimintai tolong oleh keluarga Pak Aan, tidak merasa kecil, dan tidak pernah merasa di-judge. Mereka adalah keluarga yang menghargai waktu yang dimintai tolong, memahami bahwa yang diminta tolong punya prioritas, menyadari bahwa urgent-nya mereka tidak lebih mendesak dari kepentingan yang dimintai tolong.

Daripada memaksakan permintaan, mereka justru melihat dari perspektif yang dimintai tolong. Sehingga bahasa yang disampaikan pun selalu santun dan tidak mendesak yang dimintai tolong.

Kedua, tidak menyepelekan suatu hal. Misalnya ketika meminta diantar pergi ke suatu tempat, karena Bu Aan tidak bisa berkendara, sementara suaminya tak bisa mengantar, maka terkadang ia meminta tolong untuk diantar. Secara umum, hal seperti ini biasa, yang bisa menolong yang tidak bisa.

Tetapi Bu Aan tidak pernah menghilangkan fakta bahwa ia tidak bisa, sementara mereka yang bisa, bukan semata-mata bisa dalam sejentikan jari. Ada proses untuk mempelajari itu, ada proses belajar berkendara, begitu pun dengan hal lainnya. Kalau ia harus belajar dulu seperti orang lain akan butuh waktu yang lama. 

Makanya ketika mereka meminta tolong, terutama Bu Aan, ia selalu meminta tolong dengan penuh rasa hormat. Sehingga respon yang timbul adalah dengan senang hati mau menolong, bukan segan karena tekanan atau rasa tidak enak.

Ketiga, dan yang utama. Entah bagaimana, ketika saya butuh pertolongan, keluarga ini selalu muncul meminta bantuan. Bukan dalam artian yang buruk, tetapi ketika mereka meminta tolong, saya merasa sebenarnya justru saya yang sedang ditolong. 

Misalnya saja, ketika saya harus pergi ke pasar namun kendaraan sedang rusak, Bu Aan kemudian tiba-tiba meminta tolong untuk diantar ke pasar. Dan hal seperti ini saya yakin tidak hanya terjadi kepada saya saja.

Terkadang mengingat hal seperti ini yang cukup sering terjadi, saya bertanya-tanya sendiri apakah memang ini konsep menolongnya keluarga Pak Aan? Karena kalau kebetulan, rasanya tidak mungkin terjadi berulang-ulang. Menyamarkan bantuan dengan meminta bantuan.

Mereka mungkin memahami bahwa bagi beberapa orang, meminta bantuan itu adalah hal yang tidak mudah, pun termasuk menerima bantuan. Bisa karena alasan gengsi, tidak enak, takut membebani, atau yang lainnya.

 Makanya daripada menawarkan pertolongan yang belum tentu akan diterima dengan baik di hati orang, lebih baik mereka meminta bantuan yang sekaligus dapat memberikan manfaat juga bagi yang dimintai tolong tanpa membuat yang dimintai tolong merasa tersinggung atau merasa terbebani.

Poin ketiga ini saya rasa lebih dari sekedar etika. Bukan hanya soal sopan santun, melainkan berdasar pada kerendahan hati dan kesungguhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun