Sejak kejadian Minggu sore itu, Fredy mulai berubah. Dia benar-benar ingin menghapus kesan jelek yang terlanjur dicapkan oleh adiknya sendiri padanya. Dia sungguh-sungguh mau menjadi teladan yang baik, terutama bagi adiknya yang kini sudah mulai berpacaran. Dan dia tak mau kalau-kalau adiknya menjadi korban dari cowok, yang meskipun sampai sekarang Fredy belum tahu orang dan namanya, namun benar-benar mampu menyita hari-hari Fanny, adik semata wayangnya.
"Hai Fred, aku ikut senang lho," kata Iwan suatu hari sepulang sekolah.
"Ikut senang atas apa ?" Fredy tak mengerti.
"Iya, denger-denger kamu sudah bertobat, ya !" kata Iwan lagi, tanpa bermaksud menyindir Fredy.
"Maksudmu... ?" Fredy bertanya lagi.
"Udahlah, jangan pura-pura. Perubahan yang baik harus dan patut dirayakan. Seperti waktu aku dulu melepas janjiku untuk mempermainkan semua cewek yang mencoba mendekatiku, sebagai balas dendamku pada ... Ah, sudahlah. Nggak usah diingat-ingat lagi !" kata Iwan. "Benar-benar janji konyol !" batin Iwan lagi.
"Oh, maksudmu, aku sudah tidak playboy lagi, ya ?" kata Fredy, mulai mengertinarah pembicaraan Iwan.
"Hei, yang ngomong kamu sendiri lho, bukan aku !" sahut Iwan ber-hehehe ria dan disambut tawa Fredy.
"Oke... oke... Aku juga mulai bisa menebak arah pembicaraanmu, Wan," sela Fredy.
"Apa, coba ?" tanya Iwan.