Mohon tunggu...
Dewi Laxmi
Dewi Laxmi Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumah tangga

Membaca, memasak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pulang Kampung (Bagian 2)

13 November 2022   10:54 Diperbarui: 13 November 2022   10:55 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menapaki kota yang menjadi saksi atas kelahiran saya, sama saja membuka kenangan yang ada dalam hidup. Karena itu dalam keterbatasan waktu yang ada,  pulang kampung kali betul-betul saya manfaatkan untuk sekedar melancong ke tempat-tempat yang tak jauh dari tempat menginap.

Tempat pertama  yang saya  kunjungi adalah kawasan food street jalan Sabang, kebetulan saya menginap di sebuah hotel di jalan Wahid Hasyim. Benar-benar terpesona bagi saya yang ingin menikmati makanan mewah dengan harga kaki lima. Pilihan menu yang beragam mulai dari olahan daging kambing, ada sate, gulai, krengseng, atau sop, memang betul-betul memanjakan lidah. 

Yang tak ingin mengkonsumsi daging kambing dengan alasan kesehatan maka  olahan ayam menjadi  pilihan tepat. Ada sate, soto, ayam geprek, atau pecel ayam. Semuanya nikmat dan  akan memanjakan lidah kita. Di samping itu,  menu-menu lain pun menggugah selera. Ada rujak buah, bebek goreng, martabak, nasi goreng, capcay dan masih banyak lagi, yang semuanya akan membawa kita ke wisata kuliner yang sebenarnya.

Puas memanjakan lidah di jalan Sabang, keesokan harinya saya meluncur ke street food dekat area Grand Indonesia. Di sini tuh betul-betul memanjakan pecinta camilan. Kalau di jalan Sabang kita dimanjakan oleh makanan berat maka di sini hasrat kita untuk mencicipi cilok, basreng, siomay, seblak aneka jus akan terpenuhi. 

Puluhan gerobak memenuhi area yang termasuk ke dalam wilayah Kebon Kacang. Hiruk pikuk suara penjaja makanan yang memanggil, coloteh para pengunjung, rengekan anak kecil dan teriakan juru parkir menambah kemeriahan tempat yang rasanya enggan ditinggalkan sebelum mencicipi apa yang terpampang di depan mata.

Untuk mendatangi dua tempat yang menjajakan kuliner khas kaki lima, pengunjung tak bisa datang sepanjang waktu. Karena kedua tempat tersebut baru akan dibuka saat sore datang menyapa hingga pukul 12 malam.

Hari berikutnya, ketika tak ada kegiatan kantor alias sudah free, suami mengajak saya ke Pasar Tanah Abang. Wow, sebuah tempat yang menjadi tempat favorit mencari baju-baju dengan harga "miring" saat kuliah dulu. Tentunya tawaran ini tak boleh dilewatkan.

Alhasil, sampailah saya di tempat yang dituju. Masih seperti dulu, ramai dan penuh sesak dengan para pedagang, juru parkir dan pengamen. Cuma yang berbeda kali ini saya bisa berbelanja dengan tenang tanpa takut kepanasan walaupun  pengunjungnya membludak.

Kebetulan saat itu yang saya masuki adalah Pusat Grosir Metro Tanah Abang yang di dalamnya ada fasilitas pendingin ruangan. Betul-betul dunianya wanita. Semua yang terpampang di sana rasa ingin dibawa pulang.  Untunglah suami segera menarik tangan saya untuk segera keluar. Kalau tidak, mungkin saya tak bisa mencicipi kuliner-kuliner di food street yang berada di belakang pasar, soto betawi, gado-gado Jakarta,  mie ayam, bakso.  Ah, semuanya menggugah selera.

Terlepas dari nikmatnya sajian yang dijajakan pada masing-masing food street, sepertinya pihak pengelola wajib mentata ulang kembali tentang pengamen dan pengemis yang bebas keluar masuk pada warung-warung atau tenda penyedia makanan. Jujur ini sangat mengganggu keasyikan kita dalam menikmati makanan. Karena untuk satu kali duduk pada sebuah warung atau tenda maka akan ada lebih dari lima pengamen atau pengemis yang akan menghampiri pengunjung. Dari yang hanya menggunakan "keclekan" botol plastik bekas yang diisi uang logam hingga yang bisa juga ikut mendaftar pada ajang pencarian bakat pada televisi-televisi ternama. 

Saat saya masih tinggal di Jakarta, pengemis yang saya lihat kebanyakan didominasi oleh para orang tua. Ada saja kelakuan mereka agar kita menjadi iba. Pura-pura buta, pura-pura lumpuh bahkan sampai mau-maunya mereka membuat luka di bagian-bagian tubuh tertentu dengan menggunakan tape, obat merah atau mungkin saus sambal atau tomat agar luka itu dapat dihinggapi lalat. Namun, berbeda dengan pengemis yang saya lihat kali ini. Mereka masih muda-muda. Mungkin kalau mau dikelompokkan umur, mereka ada direntang usia 10-25 tahun. Usia yang masih sangat produktif bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun