Mohon tunggu...
Dewi Damayanti
Dewi Damayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger

Musim boleh berganti, namun menulis tak mengenal musim. Dengan goresan tintamu, kau ikut mewarnai musim.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Wanita di Ujung Jalan

23 Juli 2010   04:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:39 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_205073" align="aligncenter" width="390" caption="sumber: google"][/caption] Jika orang bijak menganalogikan hidup itu bak roda pedati, kadang berada di atas kadang di bawah, aku setuju. Hidup memang naik turun berirama dengan riak-riak kecil yang tak sampai membalikkan sampan. Namun hidupku berbeda. Perjalanan hidupku terasa bak menaiki roller coaster. Ketika sumbu itu sampai di posisi puncak, dia kembali menghentak turun, dengan kecepatan yang memacu adrenalin. Kemudian terhenti di titik nol. Titik nadir. Di sinilah aku kini. Lelaki beranak dua dengan isteri yang kehilangan hampir seluruh ingatannya. Bergerak ke sana kemari dengan komando, tak ubahnya robot yang dikendalikan remote control. Dan remote control itu adalah aku. Kini waktuku tersita untuk dia. Mengajarinya menulis, membaca, bahkan mengenalkannya dengan benda-benda remeh temeh di sekitarnya. Dia kembali seperti balita. Bahkan kemampuan anak kami yang balita masih di atas dia. Namun pantaskah aku mengeluh, setelah semua yang dilakukannya untuk kami? "Su-sah..." terbata-bata dia mengungkapkan kesulitannya di depan guru yang menanganinya. "Pelan-pelan Bu. Nah begini, huruf t dulu lantas huruf n nya samar di sambung i dengan ekor ke atas. Coba lagi ya." "Un- tuk a-pa ini?" matanya menerawang kosong. "Supaya Ibu bisa bekerja lagi. Masih ingin bekerja kan Bu?" Wanita setengah baya itu sedang mengajari isteriku mengenali tanda tangannya kembali. Dia juga yang membantu isteriku belajar baca tulis kembali. Selain wanita setengah baya itu, masih ada dua orang lagi sebagai terapis khusus isteriku. Satu untuk terapis motorik dan satunya psikiater. Menurut dokter yang menangani, isteriku membutuhkan itu semua. Dan aku setuju. Meski untuk semua itu kocek harus ku rogoh dalam. Sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi, beban itu terasa mencekik. Kini beban itu harus aku pikul dengan kedua lenganku sekarang. Karena isteriku sudah 3 bulan ini tak lagi mendapatkan gajinya sebagai pegawai negeri. Kondisinya tak memungkinkan untuk beraktivitas keluar rumah. Bahkan ke kamar kecil pun harus didampingi. Aku kehilangan sosok yang selalu bergerak energik. Sosok yang sebelumnya selalu siap membereskan seluruh urusan intern rumah tangga. Sosok yang ketika pagi-pagi terdengar celotehnya di seantero rumah mungil kami. Dari menyiapkan sarapan untuk kedua puteri kecil kami dan membangunkan mereka agar bersiap ke sekolah fullday, hingga menyiapkan segala perlengkapan kerjaku. Dari baju dengan stelan celanaku yang harus matching, dasi, kaos kaki, sepatu, bahkan dia ikut mengingatkan perlengkapan mengajarku apa sudah komplit atau tidak. Asisten yang membantu isteriku mengurusi rumah kami memang tidak menginap. Dia datang pagi ketika pekerjaan yang mendesak telah ditangani isteriku, dan pulang menjelang senja. Kini sosok itu tergolek lemah, hanya sanggup melangkah tertatih-tatih, dengan kata-kata terbatas yang diucapkannya dengan terbata-bata. Sosok energik itu telah pergi.

*****

Aku sedang di kelas dan menyiapkan slide materi kuliah, ketika handphone ku berdering siang itu. Ternyata dari salah satu teman kantor isteriku. "Maaf Pak Gatot, isteri Bapak kami bawa ke rumah sakit barusan. Sekarang di ruangan ICCU. Tadi pingsan di kantor." Deg...Roller coaster itu mulai meluncur turun dari ketinggian. Terlebih setibanya di ruangan ICCU, dokter spesialis yang menangani isteriku memberi ultimatum yang membuatku menghela nafas satu-satu... "Isteri Bapak kemungkinan besar terkena Eklampsia. Kita harus mengambil tindakan, menyelamatkan nyawa ibunya atau bayinya." Aku terhenyak. Pilihan yang sulit. Aku sangat menginginkan bayi itu. Apalagi dari beberapa kali USG jenis kelaminnya kemungkinan besar laki-laki. Sudah terbayang dibenak, aku akan mengajaknya bermain sepakbola, beladiri, dan segala olahraga yang menantang kejantanan...wow! Tapi betapa egoisnya jika saat genting begini aku hanya memikirkan keinginan pribadi, apalagi nyawa isteriku terancam. Apa boleh buat, pisau bermata dua itu tak bisa dipakai kedua sisinya dalam waktu  bersamaan. Namun detik merambat ke menit, hingga berhari-hari bahkan berminggu pasca operasi kondisi isteriku tak juga membaik. Dia tak juga siuman. Padahal dari referensi yang aku baca tentang eklampsia, jika bayi itu telah dikeluarkan maka kondisi ibunya akan berangsur membaik. Harus sering diajak dialog, kata dokter yang menangani isteriku. Dan itulah yang aku lakukan. Berjam-jam bercerita apa saja di depan tubuh isteriku yang terbujur diam. Tentang aktivitas kedua buah hati kami, tentang kegiatan mengajarku, tentang bunga-bunga Anggrek kami yang mulai bermekaran. Tentang apa saja. Tapi jasad itu hanya diam, tak ada respon sama sekali. Dan aku mulai menitikkan airmata pertama, bertahun-tahun sejak kami mendirikan mahligai rumah tangga ini. Dan itu bukan airmata terakhir, karena setelah itu roller coaster yang kami naiki selama ini akan meluncur turun kembali, bahkan menghentak-hentak. "Isteri Bapak kemungkinan akan menderita amnesia," itu diagnosis dokter tiga minggu pasca operasi. Ah, aku pikir amnesia biasa. Toh orang-orang yang mengalami kecelakaan, gegar otak ringan biasa mengalami amnesia. Tapi setelah isteriku mulai bisa menggerakkan jemarinya, kemudian membuka matanya...mata itu terlihat kosong. Seperti kanvas kosong, tanpa goresan apapun. Tak ada yang bisa terbaca di sana. Tak ada kata-kata yang terucap. Bahkan ketika kedua gadis kecil kami berhamburan memeluknya, dia hanya terdiam. Setelah satu bulan lebih tanpa perkembangan yang berarti di rumah sakit, dan kondisi fisikku sendiri mulai drop dengan keuangan yang mulai ketar-ketir, akhirnya dengan persetujuan dokter isteriku dirawat di rumah. Dan hempasan demi hempasan itu mulai menggoyahkanku. Bola salju itu mulai menggelinding, merobohkan pohon-pohon ringkih tanpa daun, bahkan bebatuan pun ikut tersingkir. Aku mulai mempertanyakan sebentuk keluarga ideal yang selama ini tersketsa di benakku. Segala tanya itu mulai menggugat. Bahagiakah isteriku selama ini hidup denganku? Suami macam apakah aku di benaknya? Bagiku dia isteri yang ideal, ku bentuk dia sesuai keinginanku. Tapi apakah keinginan dia juga begitu? Telingaku baru terbuka, ketika seorang sahabat isteriku bercerita ringan. Katanya isteriku sering heran melihat obrolan ringan antara dia dan suaminya di telepon. Kok bisa sih ngobrol ngolor ngidul dengan suami macam begitu katanya. Lho memang seharusnya gimana, tanya temannya. Isteriku terdiam. Dan aku pun terdiam dengan cerita sang teman. Kilas balik itu mulai menghantuiku. Segala dominasiku dalam biduk rumah tangga kami. Sikap isteriku yang penurut. Dia tak pernah membantah, nyaris tak pernah. Keputusanku adalah sabda. Dia hanya menjalaninya dengan taat, dengan seabrek kewajiban yang harus ditanganinya. Bahagiakah dia selama ini hidup denganku? Ketika memutuskan untuk memiliki momongan lagi, pun aku tak menanyakan keinginannya. Aku hanya menyatakan aku ingin anak lelaki. Ketika benih itu bersemai di rahim isteriku, ku sambut dengan sukacita. Bahkan telah ku siapkan sebuah nama, jika anak itu lahir. Seingatku isteriku gembira, mungkin juga karena kegembiraanku. Akh, sulit untuk menebak emosinya. Dia begitu tenang bagai danau, kadang aku tak sanggup mengukur kedalamannya. Akhir-akhir ini dia begitu pendiam, bahkan pernah kepergok sedang mengusap airmata, lanjut sang teman. Aku semakin tersudut. Ke mana bahu ku sembunyikan selama ini? Bukankah seharusnya dia menangis di bahuku? Jika ditanya kekerasan fisik dalam rumah tangga, rasanya bisa ku pastikan tidak. Namun jika sikap dominasiku bagi dia mengintimidasi, itu luput dari pertimbanganku. Aku ingin membentuk dia menjadi isteri yang ideal. Meski berkarier, tapi tetap menomor satukan keluarga. Dan waktunya memang tersita sepulang kerja. Karena masih harus mengurusi pekerjaan rumah yang tak ada habisnya. Kami tak pernah punya waktu berdua. Dia juga tak lagi memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Apakah karena itu dia harus menangis di kantor? Aku lirik wajah isteriku diam-diam. Dia sedang asyik mengeja buku di depannya. Perlahan ku dekati dia, ku ambil tangannya, ku tegakkan dagunya. Aku ingin menyelam ke dasar hatinya... "Tanti...apakah selama ini kau bahagia?" tanyaku hati-hati. Itu adalah percakapan intim kami yang pertama. Dia menarik tangannya, memalingkan wajahnya. Dengan ekor matanya, dia melirikku takut-takut. "A-ku sa-kit Mas. Ti-dak bi-sa mem-ba-ha-gia-kan Mas dan a-nak- a-nak," susah payah dia mengutarakan isi hatinya. Tapi bagiku kata-katanya terasa tajam menusuk ke ulu hati. Selalu kebahagiaanku dan anak-anak. Namun aku harus menuntaskan tanya itu, agar tak lagi jadi sekat penghalang antara kami. Aku raih kembali tangannya, ku ulangi pertanyaan yang sama. Di luar dugaanku, dia tepis genggamanku, dan kembali membuang muka. Airmatanya mulai turun berderai-derai dengan bahu terguncang-guncang menahan isak. Aku ingin merengkuhnya, tapi ragu. Sementara di luar hujan pun turun berderai-derai mengisi malam yang semakin sunyi di pinggiran kota. Rasanya tanyaku telah terjawab semuanya. Tak perlu lagi kata terucap. Kebon Jeruk, Juli 2010


Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun