Tinggal di negeri yang majemuk sebenarnya merupakan keberkahan. Ada begitu banyak warna dalam kehidupan. Perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan bukan menjadi penghalang untuk terus berbuat kebaikan.
Nilai-nilai toleransi dan kemanusiaan ada dalam butir-butir Pancasila. Nilai-nilai tersebut sebaiknya tak hanya dihafalkan, melainkan dipraktikkan. Saya belajar banyak tentang nilai-nilai tersebut dari rekan senior yang akrab kami sapa Bude.
Rabu lalu sebuah pesan tiba. Pesan tersebut dari Bude. Ia meminta ijin untuk menggunakan kupon belanja yang didapatkan dari koperasi untuk kegiatan bagi-bagi takjil. Aku tersenyum dan segera membalas, menyatakan persetujuan
Jumat sore sebuah pesan kembali datang dari Bude. Isi pesan menunjukkan foto-foto bungkusan makanan-makanan. Ada juga foto Bude bersama beberapa perempuan paruh baya yang saya tebak saudara-saudaranya, sedang membagikan makanan ke para pengendara roda dua dan pejalan kaki.
Tak terasa mataku panas. Aku merasa terharu. Pastinya tak mudah memasak mie goreng dengan sayuran dan telur begitu banyak. Kemudian, menatanya dalam kardus bersama kerupuk. Perlu tenaga dan waktu untuk memasaknya. Belum lagi membagikannya. Mereka menggunakan kereta dorong yang biasa untuk berbelanja untuk menaruh bungkusan makanan yang akan dibagikan.
Bude bersama dua saudara perempuannya yang menyiapkan semuanya dan membagikannya. Jika melihat patungan kami berupa kupon belanja dari beberapa orang, sepertinya Bude tetap keluar dana, selain dari kupon belanja koperasi.
Dus berisi mie goreng itu dibagikan bersama sebuah pisang dan satu cup air mineral. Makanan tersebut lumayan untuk membatalkan puasa dan mengisi perut. Apalagi untuk anak kosan yang setiap hari berpikir untuk berhemat.
Mengapa pada paragraf-paragraf awal saya menyebutkan kemajemukan dan nilai toleransi? Oleh karena Bude dan keluarganya merupakan nonmuslim. Mereka menganut agama Katholik.
Sudah lama Bude membagikan takjil dan makanan berbuka puasa di jalan raya di kawasan Blok M yang tak jauh dari rumahnya. Biasanya ia melakukannya pada hari Jumat atau hari libur. Menunya pun beragam, kadang-kadang roti, buah, dan air minum, kadang-kadang makanan yang agak berat. Semampunya.
Ia melakukannya dengan tulus dan sukacita. Baginya melihat orang lain senang dan memanfaatkan pemberiannya, itu sudah cukup. Oleh karena makanan tersebut untuk kaum muslim, maka tentunya bahan makanannya dipilih yang halal.
Omong-omong tentang bulan Ramadan, saya juga beberapa kali terbantu oleh Bude pada saat berhalangan puasa. Penjual makanan di kantin tutup dan pulang kampung selama Ramadan, sementara kesibukan tak berkurang selama bulan-bulan tersebut sehingga saya sering lalai menyiapkan bekal dari rumah.
Melihat ada beberapa pekerja nonmuslim dan pekerja perempuan yang berhalangan puasa, Bude pun memasak di pantry. Menunya sederhana, kadang-kadang hanya nasi, telur dadar, dan tumis sayuran. Namun, menu tersebut sudah mengenyangkan dan cukup membantu. Kami menggunakan ruang yang kosong untuk makan bersama.Â
Ada banyak hal lainnya yang saya teladani dari sosok Bude. Ia selalu yang aktif menarik donasi sumbangan apabila ada salah satu dari kami yang berkesusahan, sakit atau ada anggota keluarga yang meninggal. Atau sebaliknya, ketika ada yang menikah atau melahirkan. Ia juga suka membuat kejutan bagi mereka yang berulang tahun. Hal-hal tersebut membuat kami merasa dicintai dan dipedulikan.
Ia membantu tak pandang agama, jabatan atau status. Semua pekerja, baik office boy maupun karyawan tetap semua mendapat perlakuan baik. Ia juga kerap mengajak kami patungan membeli sesuatu untuk rekan-rekan kami beda gedung, agar kami saling mengenal dan peduli.
Ya, Bude adalah teladan bagi kami. Meski sekarang kami berbeda tempat kerja, kami tetap saling kontak dan peduli.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI