Belum genap pukul sepuluh pagi, tapi matahari seperti sudah tinggi dan sinarnya terasa begitu terik di Sumenep. Kondisi ini tak menyurutkan niat kami untuk menuju Keraton Sumenep. Tak sampai 30 menit kami telah tiba di depan gerbang keraton yang masih terawat ini. Rupanya ada beberapa hal menarik tentang Keraton Sumenep ini.
Oleh petugas parkir, kami diminta menuju museum dulu sebelum menjelajah keraton. Tiket masuknya murah, hanya Rp 5 ribu untuk orang dewasa. Museum ini buka sejak pukul 17.00. Di dalam bangunan yang terdiri atas sebuah ruangan seperti aula ini terdapat urutan nama-nama raja Sumenep dan pemerintah daerah setelahnya, juga beragam koleksi lainnya, baik yang telah berusia ratusan tahun maupun yang masih belum terlalu tua.
Kerajaan Sumenep ini awalnya berupa Kadipaten sebelum berubah menjadi Keraton pada tahun 1883. Wilayahnya berupa Madura bagian timur seperti Sumenep dan Pamekasan, juga kepulauan di antara Selat Madura dan Selat Bali. Ia pernah menjadi bagian dari Singosari, Majapahit, Mataram hingga kemudian jatuh ke kekuasaan Belanda.
Koleksi museum yang didirikan tahun 1965 tersebut ini terdiri atas furnitur, sebagian benda pusaka, dan hadiah-hadiah dari kerajaan sahabat. Furnitur terdiri atas kursi terbuat dari rotan yang digunakan pihak keraton, perangkat sarana pengadilan, dan tempat tidur. Kemudian ada benda pusaka seperti tombak tertata rapi.
Koleksi pusaka lainnya disimpan di keraton. Juga terdapat Al-Quran besar yang dibuat tahun 2005, pada saat Madura menjadi tuan rumah penyelenggaraan MTQ. Ukurannya 4 kali 3 meter dan beratnya 500 Kg.
Kerajaan Sumenep erat kaitannya dengan Kerajaan Majapahit. Pada waktu Raden Wijaya dan rombongannya menyelamatkan diri dari serangan prajurit Tiongkok ke Singosari, Arya Wiraja yang saat itu menjabat Adipati Kerajaan Sumenep membantunya. Ia juga membantu Raden Wijaya mendirikan Majapahit.
Raja Sumenep lainnya yang terkenal di antaranya Jokotole yang bergelar Pangeran Secodiningrat III (1415-1460). Ia merupakan pendiri benteng Kalimo'ok dan merupakan raja ke-13. Julukan Jokotole ini kemudian melekat ke Madura FC dengan sebutan Laskar Jokotole.
Kemudian ada nama Panembahan Sumolo Asiru (1762-1811) dengan gelar Panembahan Notokusumo I. Pada masanya Beliau mendirikan Masjid Jami'. Putranya, Sultan Abdurrahman I (1812-1854) dikenal sebagai raja yang ahli sastra dan bahasa. Ia menguasai banyak bahasa, seperti Bahasa Kawi dan Bahasa Sansekerta. Ia pernah dimintai oleh Raffles untuk menerjemahkan tulisan kuno ke dalam Bahasa Melayu.
Raja terakhir adalah RP Ario Prabuwinoto (1926-1929) sebelum kemudian Kerajaan Sumenep bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1950.
Pemandu museum kemudian menjelaskan tentang kereta kencana yang ada di sudut bangunan. Rupanya kereta kencana ini merupakan hadiah dari Inggris pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman I (1812-1854). Kereta ini dulunya digunakan untuk prosesi pada waktu-waktu tertentu. Tapi karena sebab-musabab akhirnya prosesi tersebut menggunakan kereta tiruan.
Selain kereta juga terdapat cermin raksasa hadiah Inggris. Yang asli sudah retak dan diletakkan di dalam bangunan keraton. Cermin yang replika ditaruh di depan keraton. Tujuannya agar pengunjung keraton merapikan busana dan penampilannya sebelum menghadap sang raja. Koleksi porselen juga menghiasi museum. Ada tempayan dari Tiongkok dan Inggris.
Bagiku yang paling mencuri perhatian adalah lambang kerajaan. Ia terdiri dari dua makhluk mitologi yang mengelilingi mahkota dan di bagian bawahnya dikelilingi rangkaian bunga. Di situ juga terdapat gambar rumah, bintang, dan gambar orang memegang senjata.
Aku bertanya-tanya apakah ada pengaruh lambang kerajaan tersebut dari Tiongkok dan Eropa?
Aku membaca keterangan tentang lambang kerajaan. Rupanya pegasus alias kuda terbang berarti tunduk dalam pemerintahan. Sedangkan naga memiliki makna putra bangsawan ada di bawah jangan diinjak.
Keraton Sumenep dan Kantor Koneng
Keraton Sumenep didirikan tahun 1762. Luas kompleksnya mencapai 18 hektar. Hingga saat ini kondisinya masih terawat dengan baik. Koleksi-koleksinya juga sebagian masih utuh.
Bangunan museum dan keraton didominasi warna kuning. Aku bertanya-tanya apakah ada kaitan warna kuning dan koneng. Rupanya warna kuning disebut sebagai warna bangsawan.
Koleksi Keraton Sumenep dan Bagian Keraton
Keraton Sumenep menyimpan koleksi di antaranya peralatan upacara tradisional, lemari tinggi untuk menyimpan benda pusaka seperti tombak, peralatan membuat jamu tradisional, peralatan berhias, dan miniatur keraton.
Kemudian ada peralatan kesenian seperti kesenian wayang, topeng, instrumen musik bernafaskan Islam, dan peralatan musik tradisional, juga senjata tradisional dan naskah-naskah kuno.
Oh iya di Sumenep juga ditemukan arca bernuansa Buddha yaitu patung Buddha dan patung Brahmana, menandakan pengaruh kerajaan Jawa pada masa Majapahit.
Koleksi-kolesi gerabah juga beragam. Baik dari buatan Sumenep,Tingkok maupun dari Eropa. Konon peralatan masak dari keramik tertentu membuat masakan tidak cepat basi.
Kami diajak ke ruangan lainnya. Kamar-kamar tidur raja dan permaisuri hanya boleh diintip oleh wisatawan. Tempat tidurnya rapi dan terawat. Kemudian ada ruangan yang menyambung dengan bagian atas,digunakan untuk bertirakat. Tapi ruangan ini sudah ditutup.
Di samping bangunan utama terdapat Taman Sare. Tempat putra keraton membersihkan diri. Dipercaya ada khasiat tertentu jika pengunjung membasuh diri dengan air tersebut. Ada tiga pintu. Pintu pertama diyakini dapat membuat awet muda dan mudah jodoh, dan dipermudah mendapat keturunan. Pintu ketiga untuk kejayaan,karir dan kepangkatan. Pintu terakhir untuk meningkatkan iman dan takwa.
Pemandu mengajak kami ke bagian terakhir, Labhang Mesem alias pintu tersenyum. Ia berupa pintu gerbang menuju kompleks Keraton. Ada alasan tersendiri disebut seperti itu. Pada waktu itu ada penjaga yang ukuran tubuhnya kerdil. Ia memiliki tempat sendiri untuk menjaga yang memang langit-langitnya rendah. Ia memiliki wajah ramah dan jenaka sehingga pengunjung tersenyum jika melihatnya.
Halaman keraton nampak lapang dan sejuk. Ia dihiasi dengan sebuah beringin tua yang lebat. Ketika ku melangkah keluar gerbang, hawa terik dan sinar matahari Sumenep pun kembali menyengat.