Syukurlah ada bunyi debur laut yang menentramkan kami.
Kemudian kejadian aneh terjadi. Tiba-tiba Google Maps meminta kami berbelok ke kanan. Aku langsung ragu mendapati jalanan yang lebih sempit dan begitu gelap. Tak ada kendaraan yang kami temui. Aku lalu meminta pasangan kembali ke jalan semula. Ketika ia menyalakan lampu jauh, kami berdua terkejut mendapati di depan kami ada tempat yang menjual batu nisan. Duh makin bikin deg-degan.
Kami pun kembali ke jalan semula. Dan memang jalan itu yang benar. Hingga tigapuluh menit kemudian jalan pun mulai banyak yang agak terang meskipun temaram.
Eh rupanya ada beberapa jalan ditutup. Mbah Google mengajak kami melewati jalanan yang tak umum, seperti perkampungan yang jalannya sempit, hanya cukup satu mobil. Satu gang rumah menaruh bahan bangunan, seperti pasir, di depan rumah mereka sehingga makin sempit. Di sisi kirinya adalah parit yang besar. Duh, coba kalau aku tahu jalan ke sini mungkin aku akan menolak karena risikonya lebih besar. Untunglah tantangannya tak lama, kami kemudian bergabung ke jalan besar dan tiba di hotel di Sumenep.
Keesokan paginya kami bercerita dengan petugas hotel. Ia terkejut mendapati kami lewat jalur utara malam-malam. Katanya rawan karena banyak begal dan jalannya gelap.Â
Ia bercerita jika dulunya lampu jalan itu menggunakan panel surya, tapi kemudian baterainya dicuri oknum. Waduh. Entah kenapa aku jadi ingat sebagian besar Madura pernah gelap total tiga bulan pada tahun 1999. Wah aku jadi ikut merasakan betapa sengsaranya mereka pada masa itu.Â
Perjalanan dengan lampu penerangan minim cukup berbahaya, sehingga ini merupakan pekerjaan rumah bagi Pemda setempat untuk segera memperbaikinya. Apalagi Sumenep sedang gencar mempromosikan wisata daerahnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI