Mohon tunggu...
Dewiyatini
Dewiyatini Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga

Penulis Lepas, Kontributor, Fotografer Amatir, Videographer Kulakan, Tukang Dongeng, Separuh IRT, Separuh Pekerja Lepas, Kurir Makan Siang, Camilan Hunter, Fans Bakso-Thing, Eksperimental Chef, Bodyguard Suami.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Makan Gratis, Masuk UGD: Celetukan Ibu Bawel Soal Nitrit di Menu MBG Sekolah

4 Oktober 2025   10:11 Diperbarui: 4 Oktober 2025   10:11 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nitrit ditemukan juga di potongan melon menu Makan Bergizi Gratis di Bandung Barat yang menjadi penyebab keracunan/Pexels.com

Saya ini ya, Bu, Pak, kalau dengar kabar ada 1.315 anak keracunan gara-gara program Makan Bergizi Gratis (MBG), rasanya dada langsung sesak. Bayangkan, anak-anak yang seharusnya pulang sekolah dengan tawa, malah pulang dengan wajah pucat, mual, bahkan harus ke rumah sakit. Lah, ini kan makan siang gratis, bukan "uji nyali perut"!

Dan setelah keluar hasil investigasi dari Tim Independen Badan Gizi Nasional (BGN), ternyata biang keroknya bukan bakteri jahat, bukan pestisida, bukan logam berat, tapi nitrit---zat yang sering kita anggap remeh, padahal bisa jadi bahaya laten. Nih ya, kalau ibu-ibu dengar "nitrit" mungkin bayangannya kayak bahan kimia di lab sekolah yang bau menyengat. Padahal, nitrit ini bisa ada di sayur, buah, sampai daging olahan. Jadi, jangan kira karena bentuknya alami lantas aman seratus persen.

Apa Sih Nitrit Itu?

Jadi gini, biar gampang dipahami. Nitrit itu turunan dari nitrogen. Dalam jumlah kecil, tubuh kita juga bisa bikin sendiri nitrit lewat metabolisme. Bahkan manfaatnya ada: bisa bantu melancarkan aliran darah. Tapi, ibarat bumbu masakan, kalau kebanyakan, bukannya enak malah bikin eneg.

Nitrit yang berlebihan bisa berubah jadi nitrosamin---ini loh zat yang sifatnya karsinogenik alias bisa memicu kanker. Selain itu, nitrit bisa bikin darah kita susah mengikat oksigen. Kalau sudah begitu, tubuh anak-anak jadi kayak kehabisan "tabung oksigen" padahal lagi duduk manis di kelas.

Masalahnya, nitrit ini nggak bisa dilihat mata telanjang. Dia nggak berwarna, nggak berbau, nggak berasa. Lah, gimana kita bisa tahu makanan itu aman atau nggak? Jawabannya: ya nggak bisa, kecuali dites di laboratorium. Nah, itu kan yang bikin kita sebagai orang tua deg-degan.

Dari Lotek ke Sosis, Nitrit Bisa Nongol di Mana-Mana

Hasil investigasi BGN menemukan nitrit tinggi di buah melon dan lotek. Saya sampai tepok jidat. Melon? Lotek? Makanan yang selama ini kita anggap sehat dan "aman-aman aja" ternyata bisa jadi jebakan batman buat anak-anak.

Kalau daging olahan macam sosis, nugget, atau kornet, kita sudah maklum ada tambahan nitrit buat pengawet dan bikin warnanya merah segar. Tapi sayuran? Apalagi yang sudah lama disimpan atau kena kondisi lembap, nitrat di dalamnya bisa berubah jadi nitrit. Jadi, bukan sekadar salah satu bahan, tapi cara penyimpanan dan pengolahannya juga punya andil besar.

Bayangkan anak-anak makan lotek di sekolah. Bumbu kacangnya enak, segar, pedasnya pas. Eh, ternyata nitritnya selangit. Jadi, anak-anak bukan makan sehat, tapi malah "menabung bahaya."

Mengapa Kasus Ini Bikin Ibu-Ibu Emosi

Saya ini sering dibilang bawel, suka protes. Tapi coba pikir, program Makan Bergizi Gratis itu kan niatnya mulia. Pemerintah ingin anak-anak nggak belajar dengan perut kosong. Tapi kalau eksekusinya berujung keracunan massal, siapa yang bisa tenang?

Anak-anak itu kan bukan kelinci percobaan. Mereka punya hak dapat makanan sehat, bukan makanan gratis tapi bikin masuk UGD.

Ini yang sering bikin saya ngomel ke sana-sini: program bagus jangan hanya berhenti di niat. Pengawasan, distribusi, cara simpan, cara masak, semua harus detail. Jangan karena pengen cepat, semua jadi asal-asalan.

Nitrit Bukan Monster, Tapi Harus Ditangani Serius

Supaya adil, saya juga harus bilang begini: nitrit itu bukan sepenuhnya musuh. Dalam jumlah wajar, nitrit bisa membantu tubuh. Bahkan ada penelitian yang bilang nitrit bisa melancarkan sirkulasi darah. Tapi, ibarat gula darah, kolesterol, atau garam, semua ada batas amannya.

Masalahnya di sini, siapa yang ngawasin batas aman itu? Anak-anak bukan punya "sensor nitrit" di lidah mereka. Orang tua pun nggak bisa mendeteksi hanya dengan cium bau atau lihat warna. Satu-satunya jalan ya lewat pengawasan ketat dari dapur penyedia MBG.

Belajar dari Kasus Bandung Barat

Kejadian di Kabupaten Bandung Barat ini semoga jadi tamparan. Kalau anak-anak sampai jatuh sakit, itu bukan sekadar angka di laporan. Itu berarti ada 1.315 keluarga yang panik, ribut cari obat, keluar uang untuk biaya rumah sakit, bahkan mungkin trauma tiap kali dengar kata "makan gratis".

Sebagai orang tua, saya berharap BGN bukan hanya mengumumkan hasil investigasi, tapi juga dorong pemerintah bikin standar baru:

  • Bagaimana cara simpan makanan agar nitrit tidak melonjak.

  • Bagaimana mekanisme pengawasan harian di sekolah.

  • Bagaimana edukasi ke orang tua soal risiko nitrit.

Jangan sampai kita cuma ribut beberapa minggu, lalu kasus ini hilang begitu saja dari ingatan.

Jangan Main-Main dengan Isi Piring Anak

Saya tahu, ada yang bilang saya lebay. Tapi coba deh bayangkan kalau anak Anda sendiri yang jadi korban. Masih bisa santai?

Kasus nitrit ini mengingatkan kita bahwa urusan isi piring anak bukan hal sepele. Setiap butir nasi, sayur, atau buah yang masuk ke mulut mereka, itu adalah janji orang tua dan negara untuk menjaga generasi masa depan. Kalau sampai janji itu dikhianati, berarti kita semua ikut bersalah.

Makan bergizi itu hak, bukan taruhan. Nitrit boleh saja ada, tapi jangan sampai jadi hantu di balik senyum anak-anak sekolah.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun