Di sebuah kontrakan sempit berukuran 3x11 meter, suara tangisan pecah. Herlina, seorang ibu yang sederhana, menangisi kepergian anak sulungnya, Affan Kurniawan.
Affan, tulang punggung keluarga yang bekerja sebagai pengemudi ojek online, tewas mengenaskan setelah dilindas mobil rantis Brimob ketika aksi demonstrasi di Pejompongan, Kamis, 28 Agustus 2025.
"Anak saya enggak ada, Pa!" teriak Herlina sambil memeluk jenazah putranya yang ditutupi kain.
Kalimat itu bukan sekadar ratapan, melainkan jeritan hati seorang ibu yang kehilangan harapan hidupnya. Disampaikan juga saat Anies Baswedan melayat
Ketika Harapan Mati Bersama Affan
Affan baru berusia 21 tahun. Di usia yang seharusnya ia menikmati masa muda, berkumpul dengan teman, atau mengejar cita-cita, ia justru menjadi tulang punggung keluarga. Setiap hari, ia berkeliling kota mencari nafkah, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk ibu dan keluarganya.
Namun hidup berkata lain. Affan pergi bukan karena sakit, bukan karena usia tua, melainkan karena tindakan aparat yang bertugas di bawah perintah negara. Tindakan itu digambarkan publik sebagai keji, sebuah tindakan yang seharusnya tak pernah terjadi di negara hukum.
Pejabat Publik dan Potret Nir Empati
Di balik duka keluarga, publik menunggu sikap pejabat publik. Apakah mereka akan hadir menghibur? Apakah mereka akan meminta maaf? Sayangnya, yang muncul justru pernyataan dingin, basa-basi, bahkan pembelaan terhadap tindakan aparat.
Potret pejabat publik nir empati semakin terlihat jelas ketika air mata rakyat dianggap hanya sekadar bumbu politik belaka.
Masyarakat bertanya-tanya: jika aparat yang katanya mengayomi justru melukai, kepada siapa rakyat bisa bersandar? Apakah keadilan hanya milik mereka yang punya jabatan, sedangkan keluarga miskin seperti Herlina hanya bisa pasrah?
Luka yang Tak Akan Pernah Sembuh
Herlina bukan hanya kehilangan anak. Ia kehilangan masa depan. Rasa bersalah terus menghantui dirinya: mengapa ia tidak mampu membesarkan Affan dengan mapan? Jika ia kaya, mungkin Affan tak perlu jadi ojol, tak perlu ikut aksi, dan tak akan jadi korban.
Namun rasa bersalah itu tidak seharusnya dipikul sendiri oleh Herlina. Rakyat menilai, tanggung jawab terbesar ada pada pejabat publik yang lalai mendengar suara rakyat. Kejadian di Pejompongan menjadi cermin betapa lemahnya perlindungan terhadap warga sipil ketika berhadapan dengan kekuasaan.
Dari Pejompongan, Luka Itu Menggema
Peristiwa 28 Agustus 2025 di Pejompongan kini menjadi sorotan nasional. Kata-kata "nir empati" dan "keji" berulang kali muncul di media sosial, menjadi penanda betapa dalam luka yang ditinggalkan. Tagar keadilan untuk Affan menggema, ribuan orang mengungkapkan solidaritas, dan publik menuntut pertanggungjawaban.
Sayangnya, hingga kini, jawaban pejabat publik masih jauh dari memuaskan. Permintaan maaf sekadar formalitas dianggap tidak cukup. Rakyat butuh bukti nyata: investigasi tuntas, transparansi, dan keadilan yang benar-benar berpihak kepada korban.
Kisah Herlina dan Affan seakan menegaskan jurang yang semakin lebar antara rakyat kecil dengan para pejabat publik. Sementara pejabat duduk di kursi empuk, rapat dalam ruangan ber-AC, rakyat di lapangan harus rela jadi korban.
Apalagi ketika tindakan aparat justru terkesan melindungi kepentingan elite politik. Demonstrasi yang seharusnya menjadi ruang menyampaikan aspirasi malah berujung pada tragedi. Di sinilah publik semakin yakin bahwa nir empati pejabat publik bukan hanya isu, melainkan kenyataan pahit yang terus berulang.
Harapan yang Masih Tersisa
Meski luka ini terasa mustahil sembuh, Herlina masih menggantungkan harapan pada satu kata: keadilan. Ia berharap suara tangisnya tidak diabaikan begitu saja. Bahwa di luar sana masih ada hati nurani, baik dari masyarakat sipil maupun segelintir pejabat yang benar-benar peduli.
Herlina meyakini, doa seorang ibu tak pernah sia-sia. Ia berdoa agar darah Affan tidak tumpah sia-sia, agar tragedi Pejompongan menjadi titik balik kesadaran bangsa bahwa keadilan tidak boleh mati.
Kisah Affan adalah potret kecil dari masalah besar: lemahnya empati pejabat publik terhadap rakyat. Tindakan keji aparat hanya akan terus melukai bangsa jika dibiarkan tanpa sanksi. Dan saat negara memilih bungkam, luka itu akan diwariskan kepada generasi berikutnya.
Mungkin, saat ini Herlina hanya bisa menangis di sudut kontrakan sempitnya. Tetapi tangisannya adalah suara ribuan ibu yang tak ingin lagi kehilangan anak karena keserakahan politik dan kesewenang-wenangan aparat.
Selamat jalan, Affan...
Maafkan kami, ya....(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI