Mohon tunggu...
Dewiyatini
Dewiyatini Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga

Penulis Lepas, Kontributor, Fotografer Amatir, Videographer Kulakan, Tukang Dongeng, Separuh IRT, Separuh Pekerja Lepas, Kurir Makan Siang, Camilan Hunter, Fans Bakso-Thing, Eksperimental Chef, Bodyguard Suami.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Ngambek 101: Emosi Ibu yang Sering Terlupakan

2 Agustus 2025   12:30 Diperbarui: 2 Agustus 2025   12:30 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pexel.com diedit dengan Canva.com

Tahun ini aku 44. Tua? Terserah. Tapi anehnya, aku justru merasa seperti bayi yang baru belajar berjalan. Walau lutut sudah mulai terasa ketika naik turun tangga, tapi ada sesuatu yang terasa baru di dalam diriku. Bukan keriput. Bukan uban. Tapi... cara aku memandang hidup. Terutama, memandang anakku.

Dulu, setiap kali Agustus tiba, aku ikut senang. Seluruh negeri merayakan ulang tahun---padahal bukan ulang tahunku. Sementara aku, tak pernah tahu rasanya tiup lilin. Ucapan ulang tahun dari keluarga? Hampir tak pernah ada. Kadang malah lupa. Di sekolah, teman-teman mengucap asal lalu minta traktiran. Uang dari mana? Kadang cuma bisa traktir pakai permen dua biji.

Sekarang, aku punya satu alasan kenapa ulang tahunku terasa lebih penting: aku bisa nebeng ulang tahun anak gadisku. Hanya beda satu hari, jadi tiap tahun kami seperti kembar perayaan. Tapi tahun ini, berbeda. Ada kehilangan menjelang hari bahagia kami. Itu membuatku banyak berpikir. Bukan hanya soal usia, tapi soal... hidup yang sedang aku jalani bersama dia.

Usia 44 bukan hanya angka. Ini seperti hidup baru. Dulu aku bangga jadi multitasking, sok sibuk, sok bisa semua. Tapi jadi ibu dari remaja perempuan? Wah, ini semacam kerja freelance paling absurd. Kliennya mood-an, suka tiba-tiba close project tanpa alasan, tapi kalau lagi sayang, bisa bikin kita melting tanpa ampun.

Dia bukan lagi gadis kecil yang nangis kalau tergores. Tapi belum tentu juga mau curhat kalau hatinya tergores. Kadang aku merasa seperti sedang PDKT ke sahabat baru. Belajar menyesuaikan bahasa, waktu, dan cara hadir. Dan aku sadar, selama ini aku lebih sering ada di rumah, tapi tidak hadir di hidupnya.

Pagi-pagi dia berangkat sekolah, sering terlalu pagi karena harus piket jaga gerbang. Sore hari saat dia pulang, aku masih sibuk ngetik revisi artikel. Malamnya dia asyik video call sama temannya. 

Kami lebih sering "ketemu" di dapur: aku masak, dia racik camilan. Kadang kami tertawa bareng, kadang cuma diem-dieman sambil denger lagu yang sama di speaker.

Satu malam, aku ngambek. Lupa karena apa. Lalu dia cuma tanya, "Ambu, kamu ngambek ya?"
Pertanyaan sederhana. Tapi seperti tamparan halus yang masuk ke ulu hati. Ternyata aku masih sering jadi anak-anak di depan anakku. Kami seperti adu kuat siapa yang lebih perlu dimengerti.

Dia tidak menghakimi. Dia hanya bertanya. Dan itu cukup untuk meluluhkan aku.

Dari situ aku belajar satu hal: jadi ibu tuh bukan soal mengatur, tapi soal hadir.
Bukan hadir secara fisik, tapi hadir sepenuh rasa. Kadang dia tidak minta jawaban. Dia hanya ingin aku mendengar. Kadang dia tak perlu dipeluk, cukup ditemani. Dan seringkali, dia lebih dewasa daripada aku yang katanya sudah 44.

Aku merasa... inilah momen kelahiran ulangku. Dulu aku dilahirkan ibuku. Sekarang aku merasa lahir ulang lewat cinta anakku. Cinta yang diam, tapi nyata. Yang lembut, tapi kuat. Yang tak banyak kata, tapi penuh makna.

Usia 44 ini bukan tentang menua. Tapi tentang tumbuh.
Tumbuh jadi ibu yang lebih tenang. Tumbuh jadi teman yang lebih tulus. Tumbuh jadi perempuan yang sadar, bahwa cinta paling mendewasakan justru datang dari anak yang dulu kita rawat.

Hari ini aku tak tiup lilin. Tak ada kue. Tapi ada satu cahaya yang cukup: kesadaran bahwa aku masih bisa belajar. Belajar jadi ibu yang lebih baik. Belajar mencintai tanpa mengatur. Belajar tumbuh bersama anakku.

Karena kadang, ulang tahun bukan soal merayakan waktu yang lewat. Tapi merayakan kesempatan untuk berubah, sekali lagi.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun